Didiagnosis menderita Tuberkulosis Resisten Obat (TBC RO) tak lagi harus diiringi rasa putus asa akibat proses pengobatan yang panjang dan melelahkan. Kini, dengan kemajuan teknologi medis, pengobatan TBC RO dapat diselesaikan dalam waktu hanya enam bulan.
- Ujicoba KRIS, Dirut BPJS Kesehatan: Hak atas Obat, Kunjungan Dokter dan Ketersediaan Kamar Dijamin dengan Baik
- Vaksinasi Anak 6-11 Tahun Capai Lebih dari 35 Ribu
- Bupati Sragen: Pemkab Lindungi Ribuan Pekerja Rentan Dengan BPJS Ketenagakerjaan
Baca Juga
Ketua Yayasan Semangat Membara Berantas Tuberkulosis (Semar) Jawa Tengah, Diky Kurniawan, mengungkapkan dalam Workshop Kampanye Panduan Pengobatan Baru TBC RO Berdurasi 6 Bulan (BPaL/M) di Hotel Novotel, Selasa (3/9), bahwa inovasi ini membawa harapan baru bagi para penderita.
Diky, seorang penyintas TBC RO, menceritakan pengalamannya saat menjalani pengobatan pada tahun 2014. Saat itu, ia harus menjalani pengobatan selama dua tahun dengan mengonsumsi 26 butir obat sekali minum, ditambah dengan obat suntik.
"Obatnya bisa semangkuk sekali minum. Mau tidak mau, suka tidak suka, harus dijalankan demi kesembuhan. Setelah minum obat, saya 'kelenger' (tidur) dan tidak bisa melakukan apa-apa," kenang Diky.
Berbeda dengan pengalamannya, kini penderita TBC RO hanya perlu menjalani pengobatan selama enam bulan dengan jumlah obat yang jauh lebih sedikit, hanya sekitar enam butir, tanpa efek samping yang membuat tubuh lemas.
"Dulu efek pengobatannya sangat berat, ada yang sampai mengalami gangguan jiwa, bahkan ada yang ingin bunuh diri. Tapi sekarang, setelah minum obat, pasien bisa beraktivitas normal. Jangan takut ketika divonis TBC RO, karena kini ada harapan baru untuk sembuh," jelas Diky.
Diky juga mengingatkan pentingnya dukungan masyarakat terhadap penderita TBC untuk menjalani pengobatan hingga sembuh. Ia menekankan bahwa TBC mudah menular dan dapat berakibat fatal, sehingga penderita tidak seharusnya dikucilkan atau didiskriminasi.
Associate Director Yayasan KNCV Indonesia, dr. Yeremia PM Runtu, turut mendukung sosialisasi pengobatan baru ini. Menurutnya, pengobatan BPaL/M yang hanya berlangsung selama enam bulan ini mampu memberikan kenyamanan lebih bagi penderita, dengan tingkat kesuksesan mencapai 80-90 persen.
"Kemajuan pengobatan baru untuk TBC resisten obat sudah bisa dinikmati juga di Jawa Tengah, khususnya di Kota Semarang," tambahnya.
Yeremia menjelaskan bahwa TBC RO dulunya hanya ditemukan pada pasien yang putus pengobatan atau pada mereka yang pernah sembuh namun kambuh kembali. Namun, kini terdapat kasus di mana seseorang yang sebelumnya tidak pernah menderita TBC langsung didiagnosis TBC RO.
Hal ini terjadi karena TBC menular melalui udara dan kumannya bisa bermutasi menjadi lebih kuat. Lebih lanjut, Yeremia menjelaskan dampak fatal jika TBC tidak diobati hingga tuntas, yaitu kematian, dengan angka kematian akibat TBC lebih tinggi dibandingkan dengan Covid-19.
"Covid-19 baru muncul dalam tiga-empat tahun terakhir dan kini sudah menjadi endemi. Tapi tuberkulosis tetap menjadi ancaman, dengan satu juta kematian di Indonesia setiap tahunnya," ujarnya.
Selain itu, Yeremia juga menyoroti dampak sosial-ekonomi dari TBC, seperti penurunan produktivitas, pemutusan hubungan kerja, perceraian, hingga pengucilan dari keluarga.
"Tuberkulosis bukan hanya isu kesehatan, tapi juga isu sosial-ekonomi. Dampaknya luas, sehingga kita harus cegah dengan menemukan penderita, mengobati hingga sembuh (TOSS)," tegasnya.
- BPJS Ketenagakerjaan Cabang Batang, Optimis Capai Target Peserta Aktif di 2025
- DKK Dapat Kiriman 1.800 Dosis Vaksin Covid-19 dari Kabupaten Pemalang
- Komunitas Peduli Kanker Purworejo Resmi Dibentuk