Kasus Wafatnya Mahasiswi PPDS Undip Masalah Serius buat Profesi Dokter

Istimewa
Istimewa

Peristiwa meninggalnya mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip), dr. Aulia Risma Lestari, harus ditanggapi dengan serius dan penuh kehati-hatian. Demi menjaga citra profesi kedokteran, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) diharapkan dapat bersikap tegas dalam menyikapi kasus ini.


Ketua Komite Pusat Solidaritas Penyelamat Citra Profesi (KPSPCP), dr. Daeng Mohammad Faqih, dalam diskusi daring yang bertajuk “Benarkah Kasus PPDS FK Undip Didekati Secara Subjektif dan Unprofessional” menekankan bahwa kejadian ini harus ditangani dengan hati-hati agar tidak melebihi ranah hukum yang tidak berada dalam lingkup profesi kedokteran

Tampil sebagai panelis adalah Dr. dr. Darwito S.H. Sp.B.Onk.( Direktur Utama RSA UGM), Guru besar Unair Prof. Dr. Djohansjah Marzoeki, dr., Sp.B., Sp.BP-RE(K), dan dr C Andryani, dokter forensik di RS Bhayangkara Bandarlampung serta dipandu oleh dr Ketua Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia M Nasser. 

dr Daeng menegaskan peristiwa yang menyebabkan wafatnya mahasiswi PPDS Anestesi FK Undip ini menjadi kasus yang serius. Namun dia mengingatkan dalam merespons dalam bentuk pernyataan, keputusan maupun tindakan harus disampaikan secara hati-hati dan jangan sampai melebihi dari ranah hukum yang bukan menjadi areal profesi sebagai dokter. 

“Oleh karena itu kita harus tegas dan tidak ada pembelaan terhadap tindakan bulliying (jika terbukti). Karena bulliying ini bertentangan dengan etika profesi, hukum dan bisa menghancurkan solidaritas dan citra luhur profesi. Untuk itu kita harus hati hati menangani kasus ini, kita harus menyelesaikan hal-hal yang terkait dengan bulliying secara baik dan tegas,” ujar sosok yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) periode 2018-2021 ini.

Sementara itu sebagai pemantik diskusi, dr Nasser menampilkan surat yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan (Ditjen Yankes) Kementerian Kesehatan Nomor TK.02.02/D/44137/2024 tentang Penghentian Sementara Program Studi Anestesi Undip Semarang di RS Kariadi Semarang.

Dalam surat tersebut dijelaskan alasan penghentian sementara Prodi Anestesi karena adanya dugaan perundungan yang memicu bunuh diri dari dr Aulia Risma Lestari. 

Saat memberikan paparan, Dr Andryani menjelaskan suatu kematian disebut dengan bunuh diri maka harus didukung bukti dan harus melalui proses serta tindakan kepolisian. Perlu juga, kata dia, dicari adanya niat untuk bunuh diri tersebut.

“Penentuan bunuh diri bukan oleh wartawan atau desas desus tapi oleh penyidik Polri setelah dilakukan proses sidik-lidik sesuai peraturan perundangan,” katanya. 

Sementara itu, Prof. Dr. Djohansjah Marzoeki menggambarkan kasus yang dialami di FK Undip ini sebagai bentuk premanisme birokrasi. Ia menjelaskan premanisme merupakan suatu tindakan yang melakukan dengan ancaman, kekerasan untuk merampas milik orang lain. 

Menurut Prof. Djohansjah, dalam kasus ini pihak rumah sakit itu hanya menjadi tempat tumpangan saja dari proses pembelajaran. Harusnya, kata dia, kemenkes tidak berhak untuk menutup Prodi.

“Paling-paling ya mengusir, jangan di sini. Ya itu boleh dan itu haknya (kemenkes). Sehingga itu yang saya anggap tindakan yang bukan wewenangnya, bukan haknya,” ujarnya. 

Dalam sesi diskusi, dr Djoko Widyarto yang menjabat sebagai ketua Majelis Kehormatan Etik Kehormatan IDI Wilayah Jawa Tengah, meminta agar pengertian mengenai perundungan ini dapat diperjelas.

Sejauh ini masih terdapat perbedaan pada pehamanan soal perundungan sepeti pada intruksi Menkes, Permendikbud hingga Fatwa MKEK. Ia juga mengusulkan di masa depan perlu diperkuat lagi kurikulum mengenai modul etika di semua fakultas kedokteran. 

“Dasar dasar etika kedokteran itu harus ditanamkan, tidak hanya sekadar memberikan pelajaran tetapi harus bisa memberikan contoh di lapangan sehingga peserta didik itu paham tentang etika kedokteran,” ujarnya.