Di negeri +62, ketika pemilu sudah selesai, kursi kekuasaan sudah dipesan, dan rakyat sudah kembali digiring ke rutinitas penuh cicilan dan gorengan lima ratusan, satu babak baru dimulai: pembungkaman.
Ya, bukan cuma kucing yang suka mengeong terlalu keras di malam hari yang diusir, tapi juga para jurnalis dan sastrawan yang terlalu banyak nulis dan ngomong.
Masalahnya, mereka ini suka bikin tulisan yang tajam, bukan untuk motong bawang, tapi untuk mengiris-iris kebijakan yang absurd dan para pejabat yang merasa dirinya dewa.
Ketika Prabowo, sosok flamboyan yang dulunya suka marah-marah di debat, resmi akan menempati singgasana, rakyat berharap bahwa beliau akan membawa perubahan.
Tapi perubahan yang datang ternyata bukanlah inovasi, melainkan revisi terhadap kebebasan berekspresi.
Dan seperti biasanya, tugas kotor ini tidak dikerjakan langsung oleh sang calon presiden.
Ia cukup duduk manis sambil memberi kode dari balik meja makan yang biasanya penuh nasi goreng dan daging wagyu. Sisanya? Diserahkan kepada para pembantunya.
Mereka Datang dari Segala Penjuru
Dulu, para pembantu raja membawa baki emas dan surat perintah.
Sekarang, pembantu Prabowo datang dengan akun Twitter, laporan ke polisi, dan kadang-kadang, status sebagai buzzer atau menteri dadakan. Mereka lebih tajam dari silet dan lebih sensitif dari sinyal WiFi di desa.
Ada yang dulunya wartawan tapi kini jadi penyensor tulisan. Ada juga yang dulunya sastrawan tapi sekarang sibuk cari pasal untuk membungkam teman seangkatannya.
Sungguh ironi yang lezat, seperti donat isi cabai. Para pembantu ini tersebar di berbagai lini: di media, di pemerintahan, bahkan di komunitas sastra yang dulu penuh puisi perlawanan kini berubah jadi forum puja-puji.
Mereka bekerja sistematis. Pertama-tama, mereka datangi media yang masih bandel. Mereka tidak langsung gebuk, mereka pakai teknik soft power: iklan ditarik, pemiliknya diajak makan malam, dan editornya ditawari jabatan komisaris.
Kalau masih bandel juga? Ya sudah, baru dilaporkan pakai UU ITE.
Tahu-tahu, tulisan yang mengkritik kebijakan kena pasal pencemaran nama baik, seolah-olah menyebut negara bodoh adalah kejahatan setara menyelundupkan narkoba.
Dari Anjing Penjaga Menjadi Peliharaan Lucu
Dulu, media massa disebut anjing penjaga demokrasi. Sekarang? Jadi chihuahua lucu yang hanya menggonggong kalau disuruh.
Banyak redaksi yang kini seperti resepsionis hotel: ramah, manis, dan tidak pernah menyinggung perasaan penguasa.
Coba buka portal berita besar. Judulnya: “Prabowo Tegas Tapi Lembut, Seperti Ayah Nasional Kita”. Atau: “Menteri Ini Suka Memberi, Meski Kadang Salah Ucap”.
Ketika ada berita kritis, biasanya itu copy-paste dari media luar negeri. Kalau pun berani bikin investigasi, temanya aman: tentang harga cabai naik atau hewan langka yang punah.
Padahal, tugas media bukan untuk menyenangkan hati, tapi menyuarakan kebenaran—meski kadang pahit seperti jamu brotowali.
Tapi sayangnya, ketika satu dua wartawan berani nulis keras, mereka malah dibentak oleh pembantu Prabowo. “Kamu jangan sok tahu, kita ini membangun bangsa!” teriaknya sambil duduk di Alphard dengan pelat khusus.
Lebih lucu lagi, kini banyak media yang justru bangga jadi corong pemerintah. Mereka menyebut diri “media nasionalis”.
Padahal isinya lebih cocok disebut brosur prestasi. Mereka bangga ketika mendapat ucapan selamat dari pejabat.
Padahal seharusnya, wartawan justru dicurigai oleh pejabat, karena mereka kerja mengorek kotoran, bukan menabur bunga.
Dulu Penggerak Revolusi, Kini Penjaga Galeri
Kita punya sejarah panjang sastrawan yang berani. Chairil Anwar, W.S. Rendra, sampai Pramoedya, mereka menulis dengan darah dan air mata.
Tapi kini, banyak sastrawan yang menulis dengan tinta dari biro humas kementerian. Mereka lebih sibuk mengurus festival yang disponsori BUMN daripada menulis puisi tentang kemiskinan.
Sastrawan kini lebih suka tampil di televisi, jadi juri lomba, atau bikin seminar bertema “Peran Sastra dalam Membangun Citra Bangsa di Era Digital”.
Citra bangsa? Yang benar saja. Padahal rakyat lagi sibuk cari beras murah, para sastrawan sibuk menulis puisi untuk pejabat: “Wahai engkau pemimpin bijak, senyummu setara purnama, langkahmu menyapu angin resah.”
Sebagian dari mereka bahkan jadi konsultan narasi. Mereka membantu merangkai pidato pejabat, tentu dengan bahasa berbunga-bunga.
Dulu mereka menulis untuk menyindir kekuasaan, sekarang menulis untuk menaikkan citra kekuasaan.
Transformasi yang mencengangkan, dari harimau pena menjadi kucing pangkuan kekuasaan.
Ketika ada sastrawan muda yang masih kritis, mereka segera “dinasihati” oleh seniornya. “Tenanglah, jangan terlalu frontal, nanti tidak diajak diskusi nasional,” katanya.
Dan begitu saja, satu demi satu, penyair pemberontak berubah menjadi pengisi acara talkshow.
Kekuatan UU ITE dan Senjata Pasal Karet
Para pembantu Prabowo tak perlu banyak turun ke jalan. Mereka cukup bermain dengan pasal-pasal.
UU ITE adalah senjata pamungkas mereka. Seperti pisau dapur di tangan nenek: bisa dipakai motong sayur, bisa juga buat ngusir maling.
Setiap tulisan, cuitan, atau puisi yang terlalu berani bisa langsung kena “cyber patrol”.
Lucunya, mereka selalu membungkus tindakan mereka dengan alasan yang mulia: menjaga moral, stabilitas nasional, dan persatuan bangsa.
Padahal yang mereka jaga sebenarnya bukan negara, tapi ego dan jabatan. Mereka takut bukan karena rakyat tidak setuju, tapi karena rakyat mulai paham.
Contoh konkret: ada media kampus yang menulis opini keras soal nepotisme. Apa yang terjadi? Rektornya dipanggil. Wartawannya ditekan. Semua demi “nama baik kampus”.
Pers mahasiswa dianggap ancaman seperti zombie. Padahal mereka hanya pakai laptop dan kopi sachet, bukan bom dan senapan.
Senjata Tambahan Pembantu Kekuasaan
Kalau media dan sastrawan sudah melempem, giliran pasukan medsos yang turun tangan.
Buzzer dan influencer adalah pasukan bayaran yang tak pakai seragam tapi siap menyerang siapa saja yang berani mengkritik.
Mereka pakai template yang sama: “Kamu sudah lakukan apa untuk negeri ini?”, “Negara ini butuh kerja, bukan kritik,” atau “Ngomong doang, sok idealis, tapi makan dari sistem juga.”
Kalimat-kalimat itu dilempar seperti permen karet basi, tapi entah kenapa masih banyak yang tertampar.
Buzzer ini juga sering menyamar jadi rakyat biasa. Padahal mereka punya honor tetap, agenda rutin, bahkan grup WhatsApp khusus.
Mereka memetakan siapa yang harus diserang hari ini, siapa yang harus dibela. Dan kalau sudah dapat target, siap-siap linimasa jadi neraka.
Sastrawan muda yang posting puisi soal pelanggaran HAM? Diserbu. Jurnalis yang menulis soal konflik agraria? Dicaci.
Bahkan akademisi yang kasih kuliah soal demokrasi bisa tiba-tiba viral karena dipotong konteks dan diviralkan oleh pasukan kadrun digital.
Diam yang Menenangkan atau Membiarkan?
Lucunya, Prabowo sendiri kerap tampil santai. Beliau sering berkata bahwa dirinya mendukung demokrasi, mencintai kebebasan, dan menghormati pers.
Tapi, seperti banyak tokoh besar dalam sejarah, yang penting bukan apa yang dikatakan, tapi apa yang dibiarkan terjadi.
Apakah Prabowo tahu bahwa para pembantunya sedang aktif membungkam media dan sastrawan? Pasti tahu.
Tapi mungkin ia berpikir itu hal kecil. Toh ia sibuk urus diplomasi, ketahanan pangan, dan hobi barunya: berkuda bersama para diplomat.
Tapi seperti kata pepatah lama yang dimodifikasi: “Yang diam bukan berarti bijak. Bisa jadi, ia sedang menikmati kekuasaan.”
Masih Mau Melawan atau Sudah Tertidur?
Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan rakyat? Apakah kita masih punya nyali untuk mendukung media kritis dan sastrawan pemberontak?.
Atau kita sudah terlalu lelah dan memilih menonton sinetron sambil mengeluh di grup WA keluarga?.
Karena sejatinya, kekuasaan tidak bisa membungkam semua orang sekaligus. Tapi ketika satu demi satu memilih diam, maka kebungkaman jadi kenyataan.
Rakyat seharusnya bukan hanya pembaca, tapi penjaga. Karena ketika wartawan dan penyair dibungkam, maka giliran rakyatlah yang akan dipaksa bisu.
Tapi yah, ini Indonesia. Negeri yang pandai melucu dalam tragedi. Dimana berita korupsi bisa viral berbarengan dengan video kucing joget.
Dimana penyair yang dipenjara karena puisi hanya diberitakan di blog, sementara pejabat yang salah ucap dapat berita utama lengkap dengan infografis.
Selamat Datang di Era “Senyum, Tapi Jangan Kritis”
Inilah era baru yang sedang dibentuk oleh para pembantu Prabowo: era tersenyum sambil mencabut mikrofon.
Era selfie bersama media, tapi di belakangnya menyusun laporan pidana. Era sastrawan dapat penghargaan negara karena puisinya berjudul: “Terima Kasih, Bapak Presiden”.
Jika dibiarkan, kita bukan hanya kehilangan kebebasan, tapi juga kehilangan rasa malu. Bayangkan, negara yang dulu melahirkan tokoh seperti Soe Hok Gie, Wiji Thukul, dan Pramoedya, kini harus puas dengan puisi lomba berjudul “Cintaku Padamu Seperti Subsidi Pemerintah”.
Tapi jangan putus harapan. Masih ada jurnalis dan sastrawan yang bertahan. Mereka mungkin bukan dari media besar atau komunitas elite.
Tapi mereka ada, menulis di sudut gelap, mengirim puisi lewat WhatsApp, dan menyebarkan artikel lewat email. Mereka adalah bara kecil yang belum padam.
Dan selagi masih ada satu suara yang berani, kekuasaan tak pernah benar-benar menang.
*) Pengarang novel, pemerhati sosial dan budaya, esais, dan cerpenis yang telah menulis banyak tulisan di media sosial. Bukunya yang telah terbit berjudul: Akad, Kalam Kalam Cinta dan Pintu Tauhid (2024), Sweet Girl dan Cinta Tapi Beda (2025), Kitab Mengenal Diri yang Sebenarnya Diri dan Gus Dur dan Tuhanpun Tertawa (Segera) yang diterbitkan oleh MNC Publishing. Fb: @Imajinasiku. IG: @Imajinasibuku. No.WhatsApp (admin Imajinasiku): 082141479934
- 50 Desa di Rembang Siap Jalankan Instruksi Prabowo
- Dion Agasi Komit Dukung Astacita Presiden Bidang Pendidikan
- MBG Wonogiri Kembali Dimulai