Kinerja Ekonomi Jokowi Di Triwulan Pertama 2018 Masih Mlempem

Kinerja ekonomi Indonesia pada triwulan pertama tahun 2018 masih jauh panggang dari api.


Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan mengatakan, tiga bulan awal pada tahun ke empat pemerintahan Joko Widodo masih diwarnai dengan pelemahan kinerja ekonomi.

Itu nampak nyata jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Dimana pada triwulan ke empat tahun 2017 pertumbuhan ekonomi mencapai 5,1 persen, sementara pada triwulan pertama tahun 2018, pertumbuhan ekonomi malah turun menjadi 5,06 persen. Salah satu indikator pelemahan tersebut, kata dia, dapat dilihat dari penurunan sektor ritel sebesar 5 persen.

"Itu berarti ada distorsi pada konsumsi rumah tangga. Distorsi di konsumsi rumah tangga menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi cenderung akan turun. Sebab, lebih dari 50 persen sumber pertumbuhan ekonomi dikontribusi oleh konsumsi rumah tangga," katanya dalam keterangan pers yang diterima Kantor Berita Politik RMOL, Senin (21/5).

Berikutnya, tambah politisi Partai Gerindra ini, inflasi tercatat sebesar 1,09 persen. Diakuinya angka inflasi sebesar itu memang kecil, tapi kecilnya angka inflasi itu disebabkan oleh penurunan permintaan masyarakat.

Kondisi itu disebabkan oleh kenaikan tarif dasar listrik nonsubsidi, BBM (Pertalite dan Pertamax) termasuk gas, telah menyebabkan penurunan permintaan masyarakat. Hal itu terkonfirmasi oleh penjualan ritel yang minus.

"Nampaknya ada kebijakan ekonomi yang keliru dengan inflasi yang relatif terkendali namun pertumbuhan ekonomi cenderung menurun, idealnya dilakukan kebijakan fiskal ekspansif. Tidak boleh ada surplus keseimbangan primer, dimana pada bulan april 2018 terjadi surplus Rp. 24,2 triliun, karena belanja negara masih relatif kecil," urainya.

Memasuki awal triwulan kedua tahun 2018, realisasi penerimaan pendapatan negara dan hibah ada di angka Rp 527,82 triliun atau terealisasi sebesar 27,86 persen dari target APBN 2018. Namun, menurut Heri, sumber penerimaan sebesar itu masih sangat tergantung pada penerimaan perpajakan.

"Per April 2018, penerimaan perpajakan sebesar Rp 383,27 triliun dan penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar Rp 33,66 triliun atau masing-masing baru terealisasi sebesar 26,91 persen dan 17,34 persen dari target APBN 2018," imbuhnya.

Lebih lanjut Heri melihat ada yang keliru dengan sektor pengeluaran pemerintah. Soalnya pengeluaran pemerintah polanya tidak dimaksimalkan sedari awal tahun, tapi malah biasanya di triwulan berikutnya baru mulai kejar tayang. Artinya, dengan pola begitu, pengeluaran pemerintah di triwulan pertama 2018 tidak berperan besar.

"Implikasinya adalah melambatnya pertumbuhan di triwulan-I 2018. Cuma pada tahun ini diperparah dengan penurunan laju konsumsi rumah tangga. Sementara itu, kita tak bisa berharap banyak pada peran ekspor karena adanya ketidakstabilan ekonomi global, nilai tukar rupiah yang terpuruk, dan perang dagang antara China dan Amerika yang berimplikasi pada serbuan barang-barang impor yang akan lebih murah masuk ke pasar domestik. Bahkan, impor semakin tinggi terutama untuk barang konsumsi," sesalnya.

Dengan demikian, lanjut Heri, secara jujur dapat dikatakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 tentang pembangunan berkelanjutan seperti membangun ekonomi sampai triwulan pertama tahun 2018 dipastikan belum tercapai.

Dimana dalam kurun waktu 10 hari awal triwulan pertama tahun 2018, pemerintahan berkuasa sudah menaikan BBM. Hal itu menyebabkan daya beli rakyat seolah diberangus yang berimbas pada pertumbuhan konsumsi masyarakat berjalan sangat lamban.

Kondisi itu, ujarnya, diperparah dengan tak bisa diharapkannya ekspor barang ke luar negeri karena adanya fluktuasi harga komoditas, dan nilai tukar. Bahkan, kontribusi ekspor diprediksi tidak akan lebih besar dari 20 persen.

"Kalau ekspor melambat, maka penerimaan atau pendapatan akan mengalami distorsi. Juga, stabilitas rupiah juga akan terus tertekan karena terus menipisnya cadangan devisa," duganya.

Namun begitu, anak buah Prabowo Subianto ini mengaku tetap berharap akan terjadi perbaikan yang lebih sifgnifikan pada sisi investasi dan ekspor oleh pemerintah. Sebab, perbaikan di dua sektor itu akan memberikan penetrasi pada daya beli masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan satu kebijakan yang bisa memberi dampak signifikan, termasuk perannya terhadap peningkatan daya beli masyarakat.

"Kalaupun terus terjadi kenaikan harga minyak dunia, gas dan sebagainya, sebisa mungkin hal tersebut tidak langsung berimplikasi kepada peningkatan harga-harga kebutuhan pokok. Lebih-lebih ke depan, kita akan dihadapkan kepada lebaran," tandasnya.