Memaknai Ulang Watchdog Journalism dan Media Oposisi di Tengah Hajat Akbar Insan Pers

ilustrasi jurnalisme anjing penjaga. foto: net
ilustrasi jurnalisme anjing penjaga. foto: net

Perhelatan Hari Pers Nasional (HPN) 2022 yang dipusatkan di Kendari, Sulawesi Tenggara, 9 Februari 2022 hari ini, seperti tahun lalu, masih berlangsung dalam suasana pandemi Covid-19. Protokol kesehatan yang ketat diberlakukan, mulai dari pembatasan peserta dan upacara pembukaan akhirnya digelar secara hybrid. Presiden Joko Widodo yang semula dijadwalkan hadir langsung, dibatalkan dan membuka acara secara virtual dari Istana Kepresidenan, Bogor. Kasus varian Omicron yang meningkat selama dua pekan terakhir, menjadi salah satu penyebab ketidakhadiran kepala negara secara fisik, dalam hajat akbar para insan pers di Tanah Air tersebut.


Sejarah Hari Pers Nasional 2022 tidak terlepas dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sebab tanggal peringatan Hari Pers Nasional bertepatan dengan berdirinya PWI, yang berdiri pada 9 Februari 1946 di Solo, Jawa Tengah.

Pada pertemuan tersebut dihadiri oleh berbagai wartawan dari banyak media seperti surat kabar, majalah, wartawan, dan pejuang dari seluruh Indonesia. Pembentukan PWI menjadi organisasi wartawan pertama di Indonesia diketuai oleh Mr. Sumanang Surjowinoto dan sekretaris Sudarjo Tjokrosisworo.

Dalam sambutannya, Jokowi juga mengingatkan bahwa kebebasan pers dan perlindungan terhadap profesi wartawan dijamin dalam undang-undang (UU).

"Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar dunia, kebebasan pers adalah pilar penting kemajuan Indonesia. Kebebasan pers dan perlindungan terhadap profesi wartawan dijamin dalam undang-undang," jelas Jokowi.

Menurut dia, pemerintah membutuhkan kritik serta masukan dari insan pers dalam menjalankan kebijakan. Hal ini, kata Jokowi, agar pemeritah pusat dan daerah dapat bekerja satu frekuensi untuk kemajuan Indonesia.

"Kritik, masukan, dan dukungan dari insan pers sangat sangat penting. Mengingatkan jika ada yang kurang, yang perlu diperbaiki, mendorong yang masih lamban, dan juga mengapresiasi yang sudah berjalan baik," ujar Jokowi.

Pesan Jokowi sangat penting, mengingatkan kita tentang peran sentral insan pers sebagai watchdog (anjing penjaga) dari demokrasi. Seberapa besar insan pers dan media di Tanah Air menjalankan perannya sebagai anjing penjaga bagi pemerintah selama ini? Apakah media kita telah menerapkan watchdog journalism (jurnalisme pengawas, jurnalisme anjing penjaga) sebagai pilar keempat di negara demokrasi ini?

Ironisnya, peran sebagai anjing penjaga itu belum sepenuhnya berjalan sebagaimana yang diidealkan para pakar demokrasi dan komunikasi dunia. Jurnalis senior, yang juga konsultan media dan politik, Hersubeno Arief bahkan meledek ‘’Media itu anjing penjaga (watchdog) demokrasi, bukan humas, apalagi pujangga istana.’’ Dia menuding, media di Indonesia saat ini fungsinya sudah berubah 180 derajat.

‘’Media-media arus utama (mainstream) kebanyakan sudah menjadi alat penguasa. Mereka sangat galak dan rajin menggonggong kepada kelompok oposisi dan masyarakat madani. Sebaliknya menjadi alat legitimasi berbagai kebijakan pemerintah. Dalam beberapa kasus, bahkan menjadi bagian dari operasi mendelegitimasi oposisi,’’ tukas Hersubeno, dalam catatan opini di Kumparan, 31 Desember 2018.

Dia melanjutkan, ‘’secara alami dan sisi idealisme, tugas media bukan membela pemerintah. Itu adalah tugas humas pemerintah. Dia mengutip pandangan pendiri harian Kompas P.K. Ojong yang menyatakan “Tugas pers bukanlah untuk menjilat penguasa tapi untuk mengkritik yang sedang berkuasa.”

Jika media telah menjadi bagian dari ‘’operasi mendelegitimasi oposisi’’ seperti yang dituding Hersubeno Arief,  apakah benar jika di negeri ini tidak ada media yang menjadi oposisi bagi pemerintah? Apakah semua media mainstream kompak menjadi sekadar ‘’humas’’ bagi pemerintah, dan tidak menjadi anjing penjaga terhadap pemerintah, menjadi penyeimbang di alam demokrasi? Tudingan dan skeptisme Hersubeno Arief, boleh jadi tidak sepenuhnya benar. Pun, tidak mutlak keliru. Kalau demikian, masih adakah media oposisi di negeri ini? Media yang secara konsisten melancarkan kritik kepada pemerintah, menjadi oposan murni bagi pemerintah? Ini menjadi persoalan tersendiri, karena lagi-lagi industri dan konglomerasi media berkelindan dengan aneka kepentingan dan ujungnya ‘’berselingkuh’’ dengan penguasa.

Reuters Institute menyebutkan Watchdog Journalism merupakan perwujudan media (news media) sebagai pilar atau kekuatan keempat (the fourth estate) setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Konsep dasar Watchdog Journalism adalah wartawan memainkan peranan sebagai pengawas pemerintahan dan masyarakat demi kepentingan publik (Waisbord, 2000), dengan menyajikan pemberitaan yang objektif, faktual, dan bergaya pemberitaan kritis (critical reporting style).

Peran sebagai anjing penjaga praktis bukan tanpa akibat dan risiko. Di negara kampiun demokrasi dunia, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump,  bahkan pernah berang dengan media yang rajin menjalankan peran anjing penjaga itu. Dia menuding ada 5 media di negaranya yang menjadi musuh rakyat. Kelima media di AS tersebut adalah New York Times, NBC Times, ABC, CBS, dan CNN. Trump bahkan menyebut kelima media mapan itu sebagai media palsu yang menyesatkan.

Trump mula-mula memposting kicauannya melalui Twitter pada Jumat (19/2/2017) dengan menyebut nama 5 media di Amerika yang ditudingnya sebagai musuh rakyat. “The FAKE NEWS media (failing @nytimes, @NBCNews, @ABC, @CBS, @CNN) is not my enemy, it is the enemy of the American People!” kicau Trump. Sehari kemudian, Trump kembali menggunggah pernyataan kontroversial di Twitter. Ia meminta rakyat Amerika untuk tidak percaya kepada pemberitaan media-media utama di Amerika Serikat yang disebutnya sering menyampaikan berita palsu. “Don't believe the main stream (fake news) media.The White House is running VERY WELL. I inherited a MESS and am in the process of fixing it,” cuit Trump di Twitter, Sabtu (18/2/2017).

Sedangkan di negara-negara Amerika Latin yang menjadi basis sindikat narkotika, media dan jurnalis yang gencar menjalankan peran sebagai anjing penjaga, setiap saat menunggu giliran menjadi korban kekejaman kaki tangan gembong narkotika tersebut.

Namun, angin segar masih datang dari pemerintah negeri ini. "Kritik, masukan, dan dukungan dari insan pers sangat sangat penting. Mengingatkan jika ada yang kurang, yang perlu diperbaiki, mendorong yang masih lamban, dan juga mengapresiasi yang sudah berjalan baik," ujar Jokowi.

Pesan itu sangat penting, dan menjadi sinyal sekaligus amunisi bagi insan pers di negeri ini untuk tampil menjadi anjing penjaga bagi pemerintah. Kritik yang keras sekalipun diperlukan pemerintah untuk memperbaiki kebijakan yang keliru.

Jokowi menambahkan, saat ini pemerintah melalukan hilirisasi di industri tambang dan sektor pertanian. Selain itu, pemerintah berkomitmen untuk melakukan transisi energi dan transformasi digital. Untuk itu, pemerintah terbuka menerima masukan dari awak media agar transformasi ini dapat tereksekusi. Sehingga, dapat membawa perubahan dan memberikan kontribusi besar bagi kemajuan Indonesia.

"Pemerintah selalu terbuka menerima masukan masukan dari insan pers agar langkah-langkah besar ini betul-betul bisa tereksekusi dan dijalankan di lapangan," tutur Jokowi.

Pesan Jokowi di hajat akbar para insan pers tersebut, menjadi momentum untuk tidak surut menjalankan peran sebagai anjing penjaga, agar demokrasi di negeri ini berjalan seimbang, tidak timpang, hanya menguntungkan penguasa dan segelintir elit, dan mengorbankan kepentingan rakyat. Menjadi media oposisi adalah keniscayaan yang dapat dipilih oleh para pengelola media massa, untuk menjadi kekuatan penyeimbang dan pilar keempat agar demokrasi, nilai-nilai kebajikan dan keadilan benar-benar diterapkan sepenuh-penuhnya di republik ini. Selamat Hari Pers Nasional!