Menjaga Komunitas Badui Di Tengah Gurun Sinai

Suku Badui Di Gurun Sinai.
Suku Badui Di Gurun Sinai.

Tulisan ini dimuat sebagai rangkaian tulisan dari naskah lengkap, yang kelak akan diterbitkan menjadi buku.

Sekitar pukul 11.00 siang di Gurun Sinai, tim pembinaan teritorial Kontingen Garuda VIII bergerak menuju zona penyangga yang menjadi titik kunjungan rutin kami. Di tempat itu, kami menyerahkan bahan makanan dan obat-obatan ringan kepada komunitas Badui penggembala kambing—sebuah rutinitas sederhana yang menyisipkan kemanusiaan di antara tugas pengamanan wilayah netral.

Komunitas Badui yang kami temui merupakan bagian dari suku-suku nomaden Arab yang telah mendiami Semenanjung Sinai selama berabad-abad. Mereka menggantungkan hidup pada ternak dan sumber air musiman, berpindah dari satu lembah ke lembah lain. Secara administratif, mayoritas mereka tercatat sebagai warga negara Mesir, meskipun jaringan kekerabatan dan pergerakan tradisional mereka melintasi perbatasan modern hingga ke wilayah Negev di Israel.

Diperkirakan terdapat sekitar 7.000 hingga 10.000 orang Badui di seluruh wilayah Sinai. Konsentrasi terbesar berada di Sinai Utara, seperti wilayah El Arish, Rafah, dan lembah-lembah gurun di perbukitan Tih. Di sekitar zona buffer PBB tempat kami bertugas, hanya segelintir keluarga yang tinggal menetap dalam kelompok kecil. Mereka tinggal di tenda dari anyaman serabut kurma dan kain wol tebal, menggembala kambing dan mengumpulkan air dari sumur dangkal yang nyaris mengering.

Namun, kehidupan mereka tidak selalu seperti ini. Sejak Perang Enam Hari pada tahun 1967 dan Perang Yom Kippur tahun 1973, komunitas Badui termasuk kelompok yang paling rentan dan terpinggirkan. Mereka berada di wilayah terbuka tanpa perlindungan, dan banyak yang menjadi korban ketika pertempuran besar antara pasukan Mesir dan Israel terjadi di gurun yang mereka anggap rumah. Tidak sedikit dari mereka yang kehilangan ternak, terluka, bahkan terbunuh. Banyak keluarga terpaksa mengungsi ke bagian terdalam padang pasir, menjauh dari garis tembak, tanpa akses ke bantuan.

Tulisan Sudadi mengenai Kontingen Garuda VIII sebelumnya dapat dibaca pada tautan berikut:

Rais Abin: Jenderal Yang Mengawal Damai Dari Padang Sinai

Setelah perjanjian damai Camp David tahun 1978, kawasan ini dinyatakan sebagai zona penyangga dan dijaga oleh pasukan multinasional di bawah bendera PBB. Dalam suasana yang mulai tenang, beberapa keluarga Badui mulai kembali ke tenda-tenda lama mereka. Namun tantangan tetap ada. Ketiadaan layanan dasar membuat kehidupan mereka tetap berat. Di sinilah kami, personel Garuda VIII, berperan mendampingi dan membantu—tidak hanya sebagai penjaga perdamaian, tetapi juga sebagai penghubung kemanusiaan.

Saya masih ingat seorang tokoh Badui bernama Suleiman. Ia menyambut kami sambil duduk bersila di depan tendanya yang reot, rambutnya memutih diterpa angin gurun. “Makanan ini menyelamatkan anak-anak kami,” katanya pelan. Ucapan itu lebih berat dari karung tepung yang kami bawa. Seorang bocah laki-laki berlari menyambut dengan roti pipih di tangan, tersenyum malu-malu. Seorang ibu muda, Fatimah, menunjukkan bekas luka akibat kambing liar yang harus ia kejar sendirian. Ia bercerita tentang badai pasir dan kambing-kambing sakit yang menjadi beban harian mereka. “Tanpa tim medis dari Garuda, mungkin kami kehilangan lebih banyak,” ujarnya.

Setiap bulan, tim kesehatan dari kontingen kami memeriksa tekanan darah warga Badui, memberi vaksinasi, dan membagikan obat-obatan dasar. Hari itu kami juga membawa obat antiparasit untuk ternak mereka. Bagi sebagian orang, mungkin itu hal sepele. Tapi bagi mereka, kambing yang sehat berarti anak-anak bisa makan dan bertahan hidup.

Di penghujung kunjungan, kami duduk dalam lingkaran kecil, mencicipi teh kental beraroma daun sage yang mereka kumpulkan sendiri. Suara angin gurun dan gemerisik pasir menjadi latar dari momen hening yang penuh makna. Seorang bocah mengulurkan secarik kertas usang bertuliskan doa dalam aksara Arab. Sebuah ucapan terima kasih yang tak bisa dibeli dengan apapun.

Kini, saat saya mengenang kembali pengalaman itu, saya menyadari: tugas menjaga perdamaian bukan hanya tentang menjaga batas wilayah. Lebih dari itu, kami menjaga harapan. Dalam setiap tatapan, tawa, dan tangan yang menggapai bantuan, tersimpan keteguhan hidup manusia di medan paling keras. Dan di sanalah, di tengah gurun Sinai, saya melihat denyut kemanusiaan yang paling jujur. 

*) Sudadi, Staf Khusus DPP LVRI, Veteran Kontingen Perdamaian Garuda VIII 1978