Menyelamatkan Kepentingan Bersama: Menurunkan Prevalensi Perokok dan Memikirkan Masa Depan Pelaku Industri Hasil Tembakau

Foto atas: Petani tembakau di Desa Bansari,  Kecamatan Candiroto, Kabupaten Temanggung, saat menjemur rajangan tembakau. Foto bawah: Seorang buruh perempuan beristirahat sejenak di pinggir kebun tembakau di Desa Canggal, Kecamatan Candiroto, Temanggung. Foto-foto: Gholib/RMOL Jateng
Foto atas: Petani tembakau di Desa Bansari, Kecamatan Candiroto, Kabupaten Temanggung, saat menjemur rajangan tembakau. Foto bawah: Seorang buruh perempuan beristirahat sejenak di pinggir kebun tembakau di Desa Canggal, Kecamatan Candiroto, Temanggung. Foto-foto: Gholib/RMOL Jateng

Indonesia dihadapkan pada dua kontradiksi yang belum terpecahkan hingga kini: ketergantungan APBN pada kontribusi cukai hasil tembakau (CHT), sedangkan di sisi lainnya menghadapi prevalensi perokok, termasuk perokok anak, yang terus meningkat setiap tahun. Negara bagaikan penderita bipolar; di satu sisi membutuhkan dana besar untuk mengongkosi tingginya biaya penyelenggaraan negara, namun di sisi lain sadar akan tingginya prevalensi perokok dan kerugian yang ditimbulkan akibat merokok di negeri ini.


Penerimaan negara dari industri tembakau terbilang sangat besar. Kementerian Keuangan mencatat kenaikan harga rokok melalui CHT membuat penerimaan negara di sektor tersebut tumbuh signifikan. Kontribusinya mencapai 97 persen dari total penerimaan cukai. Sepanjang kuartal I/2021, realisasi penerimaan cukai Rp49,56 triliun atau 27,54 persen dari targetnya. Sedangkan CHT 48,22 triliun atau 27,75 persen dari target.  

“Penerimaan CHT tumbuh signifikan sebesar 73,92 persen yoy [secara tahunan]. Tingginya pertumbuhan disebabkan limpahan pelunasan pemesanan pita cukai tahun 2020 ke 2021 sebesar Rp27 triliun,” tulis Kemenkeu dalam terbitan APBN Kita Edisi April 2021, Selasa (27/4/2021).   Selain itu, tingginya pemesanan pita cukai atau produksi tembakan pada Januari dan pengaruh kenaikan tarif yang berlaku di Februari turut mendorong capaian penerimaan CHT.   Namun, bersamaan dengan itu, negara juga dihadapkan pada tingginya prevalensi perokok, termasuk perokok anak sebagai dampak dari berkembangnya industri rokok di Tanah Air.  

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi merokok anak usia 10 sampai 18 tahun meningkat sebesar 1,9% dari tahun 2013 (7,2%) ke tahun 2018 (9,1%). Padahal RPJMN 2014-2019 menargetkan perokok anak seharusnya turun menjadi 5,4% pada 2019. Dalam RPJMN 2020-2024, Pemerintah menargetkan prevalensi perokok anak turun menjadi 8,7% pada tahun 2024.    Ironisnya, di masa pandemi ini, konsumsi orang merokok justru meningkat. 

Berdasarkan survei Komnas Pengendalian Tembakau (2020) terhadap 612 responden dari berbagai daerah di Indonesia selama 15 Mei–15 Juni 2020, jumlah belanja rokok justru meningkat di tengah impitan ekonomi tersebut, hampir 50% perokok mengaku tetap membeli rokok selama masa pandemi. Bahkan, lebih dari 13% perokok mengaku meningkatkan pembelian rokok. Jumlah tersebut mayoritasnya (77,14%) berasal dari responden dengan penghasilan kurang dari Rp5 juta. Sekitar 9,8% merupakan responden berpenghasilan di bawah Rp2 juta dan 17,8% dari responden berpenghasilan Rp2-5 juta. 

Revisi PP 109/2012  

Sikap politik pemerintah yang bipolaristik terhadap keberadaan dan dampak industri tembakau itu, tampaknya yang membuat revisi atas PP 109/2012   tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, terus tertunda hingga kini. Pada 22 Juni 2021 lalu, Koalisi Masyarakat Peduli Kesehatan (KOMPAK) yang diwakili Yayasan Lentera Anak, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Komnas Pengendalian Tembakau, FAKTA Indonesia, dan Indonesia Institute for Social Development (IISD) telah menyatakan desakan kepada Presiden Joko Widodo untuk segera menyelesaikan revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif dan bertindak tegas kepada para Menteri sebagai pembantu Presiden yang melakukan penolakan terhadap proses revisi PP ini.  

Pada pertengahan Maret 2021 lalu, dalam sebuah webinar yang berlangsung di Jakarta, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menyatakan komitmen untuk tetap melanjutkan penyelesaian Revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Pernyataan Menkes memberikan secercah harapan bahwa Pemerintah memang bertekad melindungi masyarakat, khususnya perlindungan masyarakat dari bahaya rokok dan target pemasaran industri rokok.  

Komnas Pengendalian Tembakau mencatat, hingga hari ini, upaya Kemenkes untuk merampungkan penyelesaian regulasi ini, tampaknya mengalami hambatan dari berbagai pihak. Setelah Menteri Kesehatan membuat pernyataan di atas dan proses revisi kembali berjalan setelah tiga tahun tak kunjung selesai, marak pemberitaan penolakan terhadap Revisi PP Pengamanan Zat Adiktif Nomor 109 tahun 2012. Mulai dari anggota DPR, DPD, kelompok yang mengatasnamakan petani, asosiasi pengusaha rokok, pengusaha periklanan, hingga Kemenko Perekonomian dan Kementerian Perindustrian.  

Penolakan tersebut mengatasnamakan petani tembakau dan buruh pabrik rokok, yang disebut-sebut akan menjadi sangat menderita bila revisi PP Pengamanan Zat Adiktif tetap dijalankan. Pihak Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menyatakan menolak revisi tersebut.  PP yang berlaku saat ini dinilai sudah cukup komprehensif, sehingga tak perlu direvisi lagi.  

Ketua APTI Jateng M Rifai menilai, revisi PP 109/2012 akan merugikan petani tembakau. Menurutnya, upaya revisi dengan menaikkan cukai rokok akan memberatkan petani tembakau karena akan mengakibatkan pembelian pabrik rokok kepada petani akan berkurang.   Di Temanggung, yang menjadi kabupaten penghasil tembakau terbaik dan terbesar di Jateng, memiliki lahan tembakau seluas 18.700 hektare yang ditanami varietas Kemloko, yang dikenal sebagai varietas tembakau terbaik. Tembakau Temanggung yang terserap oleh dua pabrik rokok besar, rata-rata mencapai 13.000 ton per tahun. 

Perokok Tertinggi Ketiga Dunia  

Indonesia sendiri tercatat sebagai negara dengan jumlah perokok tertinggi di dunia. Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengatakan, Indonesia berada di peringkat ketiga sebagai negara dengan jumlah perokok paling tinggi. Prevalensinya mencapai 33,8 persen atau sekitar 65,7 juta penduduk Indonesia adalah perokok.   Dalam diskusi Pemanfaatan Pajak Rokok daerah dan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, 29 April 2021 lalu, Dante mengungkapkan, data jumlah perokok anak usia 10 hingga 18 tahun pada 2018 mengalami peningkatan sebesar 9,1 persen. Menurutnya, hal ini bisa mengurangi kualitas sumber daya manusia (SDM) di masa depan.   Dia memperkirakan di masa yang akan datang, SDM di usia produktif akan banyak yang mengalami penurunan kualitas hidup karena sakit jantung, stroke, kanker, ginjal, hingga infeksi paru akibat rokok.  

“Data BPJS Kesehatan di tahun 2019 menunjukkan jumlah kasus tidak menular akibat konsumsi tembakau seperti jantung, stroke, kanker adalah 17,5 juta kasus dengan biaya lebih dari Rp16,3 triliun,” ujar Dante.   

Dilansir dari ui.ac.id,  Lembaga Demografi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) pada 2016 merilis hasil penelitian mengenai efek rokok terhadap situasi ekonomi pemerintah. Berdasarkan penelitian tersebut, beban ekonomi akibat konsumsi rokok sangatlah besar. Total pengeluaran negara untuk konsumsi rokok adalah sekitar Rp378,75 triliun. Kerugian negara tersebut berasal dari hilangnya tahun produktif terkait kematian premature masyarakat akibat konsumsi rokok, belum lagi untuk biaya kesakitan dan kecacatan akibat konsumsi rokok.   Di samping itu, tren perkembangan produksi tembakau sejak tahun 1990 tidak signifikan sama sekali, begitu juga dengan produktivitas petaninya. Tata niaga tembakau di Indonesia saat ini juga tidak baik, cenderung menguntungkan industri rokok daripada petani karena harga dan mutu produk dinilai dan ditentukan oleh industri, sehingga petani tidak memiliki kewenangan apapun terhadap hasil taninya.  

Prof. Budi Hidayat, SKM, MPPM, Ph.D, dari CHEPS (Center for Health Economic and Policy Studies) Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI juga menyampaikan penelitian mengenai dampak kenaikan pajak rokok terhadap prevalensi merokok. Hasil penelitian CHEPS menunjukkan bahwa prevalensi merokok akan turun ketika kenaikan cukai mencapai 438 persen atau sama dengan harga rata-rata per bungkus rokok, yaitu Rp50.025.  Penelitian ini didasarkan pada simulasi skenario cukai rokok, yaitu dengan estimasi fungsi permintaan, deteksi dampak harga terhadap partisipasi merokok, dan dampak skenario kenaikan cukai terhadap prevalensi, konsumsi rokok, dan pendapatan cukai. 

Di tengah tarik menarik antara kemudaratan dan kemaslahatan tembakau itu, mungkinkah kita sepenuhnya membersihkan diri dari industri hasil tembakau (IHT)? Ini pertanyaan yang tak mudah, karena kompleksitas masalahnya.  Bagaimana nasib mereka  yang menggantungkan diri dari industri ini? Sedikitnya, ada 150 ribu buruh rook, 60 ribu karyawan, 2,3 juta petani tembakau, 1,6 juta petani cengkeh dan 2,9 juta pedagang eceran yang hingga kini menggantungkan hidupnya dari IHT.   Menutup pabrik rokok, mungkin bukan sebuah klausul yang tepat, karena dampak ikutannya yang sangat besar bagi negara ini.  Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya Prof Dr Chadra Fajri Ananda mengatakan, pemerintah saat ini tidak mungkin mematikan industri rokok nasional. Sebab, di situ ada jutaan tenaga kerja hidup dan bekerja di sektor ini.  

"Kalau dipaksa untuk mematikan industri rokok nasional, maka pemerintah harus siap menyediakan lapangan kerja bagi petani tembakau dan buruh rokok. Dalam kondisi resesi ekonomi seperti saat ini, pemerintah akan mengalami kesulitan untuk menyediakan lapangan kerja pengganti industri rokok," kata Chandra dalam keterangannya di Jakarta, Selasa 4 Agustus 2020.  

Menurut Chandra, jika pemerintah belum dapat menyediakan lapangan pekerjaan pengganti bagi jutaan tenaga kerja industri rokok, namun sudah mematikan industri hasil tembakau, pasti akan mendapatkan protes bertubi-tubi dari jutaan tenaga kerja yang kehilangan pekerjaannya. Karena itu, ujar dia, RPJMN yang meniadakan industri hasil tembakau tidak mungkin dapat dilaksanakan. Memangnya sudah ada industri pengganti yang dapat menyerap jutaan tenaga kerja industri rokok, juga memberikan pemasukan ratusan triliunan rupiah bagi negara? Jika belum ada, jangan mematikan industri hasil tembakau nasional. Industri hasil tembakau nasional yang bernilai strategis harus dilindungi, tegasnya.  

"Jika simplifikasi cukai dapat mematikan industri rokok nasional dan jika dengan cara yang lama, target penerimaan negara dari cukai rokok, tetap terpenuhi, menurut saya pemerintah sebaiknya tidak perlu melakukan simplifikasi atau penyederhanaan penarikan cukai, dari 10 tier menjadi 3 tier. Tetap pakai yang selama ini sudah berjalan dengan baik,” papar Chandra.  

Jika menutup pabrik rokok, belum jadi opsi tepat, sekarang memikirkan bagaimana nasib dan masa depan dari mereka yang menggantungkan diri pada IHT, merupakan keniscayaan bagi pemerintah.   

Pemerintah perlu memikirkan alih fungsi lahan tembakau ke tanaman pangan. Salah satu contoh nyata, Pemerintah Kabupaten Temanggung tahun lalu menurunkan 20 persen lahan tembakau untuk ditanami komoditas tanaman pangan. Langkah ini perlu dilakukan agar petani tembakau tidak terdampak, akibat menurunnya pembelian dari pabrik rokok. Petani pelan tapi pasti diubah pola pikirnya untuk menanam tanaman pangan, selain tembakau. Tentu saja, perubahan pola menanam ini perlu mendapat intervensi dan pelatihan dari pemerintah, sehingga membuahkan hasil yang maksimal.   

Kebijakan pemerintah menaikkan cukai rokok, tentu berimbas pada buruh. Beberapa pabrik rokok kecil, menengah maupun besar sudah mulai tutup dan mengurangi pekerjanya sebagai akibat kenaikan cukai rokok.  Lantas bagaimana nasib buruh pabrik yang terdampak (dirumahkan atau di-PHK) atas kebijakan tersebut? Solusinya, pemerintah perlu membuat proyek padat karya untuk mempekerjakan mereka, yang kehilangan mata pencarian.    

Pertanyaannya saat ini, mungkinkan kita tak bisa melepaskan diri sepenuhnya dari ketergantungan pajak rokok? Tidak ada yang mustahil. Opsi menutup pabrik rokok, boleh jadi, bukan opsi yang tepat untuk saat ini, ditengah pemerintah yang masih membutuhkan dana sangat besar untuk menambal APBN, apalagi ditengah kondisi pemulihan ekonomi nasional akibat terdampak pandemi Covid-19. 

Commit to Quit 

Tapi, suatu saat, pemerintah harus merancang dan melahirkan industri-industri strategis baru yang mampu memberikan kontribusi setara atau bahkan lebih dari kontribusi cukai yang selama bertahun-tahun diberikan IHT atau pabrik rokok kepada negara.   Industri strategis baru itu, sekali lagi, harus dipastikan yang tidak berdampak buruk pada kesehatan masyarakat. Seperti tema Hari Tanpa Tembakau Sedunia, pada 31 Mei 2021 lalu, WHO mengusung tema “Commit to Quit” atau “komitmen berhenti merokok”.  

Tema “Commit to Quit” yang dicanangkan WHO perlu dimaknai lebih dalam, yaitu bukan hanya untuk berhenti merokok bagi masyarakat, namun juga bagi pengambil kebijakan untuk berhenti tunduk dari intervensi industri rokok yang melemahkan kebijakan pengendalian konsumsi produk tembakau, berhenti dari kecanduan pada cukainya, dan berhenti bersikap lemah dalam menangani masalah yang selama puluhan tahun membebani Indonesia.