Meski Dinyatakan Bersalah, Budhi Sarwono Tidak Terbukti Terima Uang Hasil Korupsi

Sidang putusan dugaan korupsi yang menjerat Mantan Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono dan orang kepercayaannya, Kedy Afandi, hakim Pengadilan Tipikor menilai dalam persidangan tidak ditemukan fakta para terdakwa telah memperoleh harta benda sebagai hasil dari tindak pidana korupsi.


"Dengan demikan, para terdakwa tidak layak dibebani (pidana tambahan berupa membayar) uang pengganti," ujar hakim anggota Lujianto saat membacakan pertimbangan putusan, Kamis (9/6/2022).

Sebelumnya, pihak KPK menuntut Budhi Sarwono dijatuhi pidana tambahan berupa membayar uang pengganti Rp26,028 miliar. Nominal tersebut dihitung dari harta benda hasil korupsi yang diterima atau dinikmati terdakwa.

Di sisi lain, majelis hakim menyatakan terdakwa Budhi Sarwono dan Kedy Afandi tidak terbukti melanggar dakwaan kedua Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Pasal tersebut menyatakan "setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya".

Sebenarnya, terdakwa Kedy Afandi sebagai orang kepercayaan Budhi Sarwono terbukti menerima uang dari para kontraktor di Banjarnegara yang ingin mendapat paket pekerjaan pada Dinas PUPR.

Namun, Kedy Afandi sebagai pihak swasta yang menerima gratifikasi tidak pernah melaporkan atau memberikannya kepada Budhi Sarwono sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara.

"Kedy Afandi bukan pegawai negeri, maka unsur ini tidak terpenuhi. Karena salah satu unsur dari Pasal 12B tidak terpenuhi maka para terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan kedua," tegas hakim Lujianto.

Meski begitu, majelis hakim menyatakan terdakwa Budhi Sarwono dan Kedy Afandi terbukti melanggar dakwaan pertama Pasal 12 huruf i Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Sehingga para terdakwa dijatuhi hukuman masing-masing 8 tahun penjara dan denda Rp700 juta. 

Usai sidang, penasihat hukum terdakwa, Luhut Sagala menyayangkan putusan majelis hakim yang menyatakan terdakwa terbukti bersalah sebagaimana dakwaan pertama Pasal 12 huruf i.

Pasal tersebut berisi "pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, ia ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya".

Menurutnya, Budhi Sarwono tidak bisa disebut turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan hanya karena keluarganya memiliki perusahaan jasa konstruksi yang mendapat pekerjaan di Banjarnegara.

Kata dia, sejak 2014 sebelum menjabat bupati, Budhi Sarwono sudah tidak lagi mengurus perusahaan-perusahaan yang didirikan ayahnya. Bukti ketidakterlibatan itu dikuatkan dengan dokumen resmi.

"Jadi bagaimana mungkin dikatakan turut serta dalam pengadaan? Perusahaan tersebut milik orang tuanya. Analoginya, kalau Jokowi presiden, apakah perusahaan anaknya nggak boleh ikut pengadaan?" tanya Luhut.

Kemudian, Luhut menyoroti sikap hakim yang membedakan kedudukan Kedy Afandi di mata hukum. Dalam dakwaan kedua, Kedy tidak bisa dijerat karena bukan pegawai negeri atau penyelenggara negara. Namun, dalam dakwaan pertama ia dinyatakan sebaliknya.

"Kami tidak bisa memahami putusan majelis hakim. Dalam dakwaan pertama, hanya karena dekat dengan bupati, Kedy Afandi dianggap sebagai pegawai negeri. Pertimbangan hakim itu saling bertentangan," tuturnya.

Di samping itu, Luhut sependapat dengan putusan majelis hakim yang menyatakan terdakwa tidak terbukti menerima uang dari hasil korupsi.

"Selama ini kesan yang ada di masyarakat, Pak Budhi (Sarwono) menerima uang sekian miliar sebagaimana didakwaan KPK. Ternyata hakim menyatakan bahwa Pak Budhi tidak terbukti menerima uang," kritiknya.