NGO Irish Aid Bicara Kompleksnya Persoalan Marginal, Isu Gender dan Pembangunan

Merujuk pada persoalan marginal, acap kali menjadi kelompok yang tidak dalam kategori normal menjadi terpinggirkan dan (tidak) memiliki akses yang setara.


Kelompok marginal yang sering mendapat stigma dan diskriminasi inilah yang coba diangkat Komunitas Non Governmnet Organization (NGO) Irish Aid yang berkantor di Kecandran, Kota Salatiga dalam diskusi langsung dengan Duta Besar Irlandia untuk Indonesia dan Asian, Pádraig Francis di D' Emmrick Hotel Salatiga, Senin (12/9).

Dengan dukungan Irish Aid/Kedutaan Besar Irlandia di Jakarta dan deeVIMas-CAD, TRIPLE-F diskusi dua arah ini melibatkan sejumlah kelompok masyarakat diantaranya Walhi Jawa Tengah, unsur Pemerintah, Komunitas Greja, Komunitas LGBTQ dan Feminis Muda. Terlihat pula, kelompok disabilitas serta Akademisi.

Executive Director Irish Aid, Syifa Aulia mengatakan, penyelenggara kegiatan ini fokus utamanya ada pada Indonesia yang masih awam tentang isu gender dan pembangunan.

"Sehingga, diharapkan dengan adanya acara ini tadi orang-orang yang awam awalnya bisa lebih peduli. Minimal tahu apa sih gender itu, apa keterkaitan antara gender dan pembangunan," ungkap Syifa.

Disebutkan, ada beberapa peserta mengajukan beberapa pertanyaan tidak melulu terkait isu gender tapi juga isu tentang LGBT.

Termasuk masukan dari kelompok masyarakat penyandang difabel yang memiliki keterbatasan fisik, hingga masuk dalam kategori masyarakat marginal. Mayoritas sulit berdaya bukan karena tidak adanya kemauan berdaya, namun struktur dan lingkungan yang membuat mereka terjebak pada ketidakberdayaan.

Sehingga, para peserta akan mendapatkan pandangan, masukan serta referensi dan ilmu baru.

"Kami juga ingin, ada pandangan baru kepada orang-orang yang awal mulanya itu enggak tahu gender dan pembangunan jadi paham," ujarnya.

Dari kegiatan ini diharapkan pembahasan gender itu tidak melulu tentang jenis kelamin, perempuan atau laki-laki. Karena cakupannya luas.

Ditambahkan Fauziah, komitmen untuk mengarusutamakan isu lintas sektoral kesetaraan gender dan pemberdayaan anak perempuan dan perempuan muda di seluruh pekerjaan pembangunan kapasitas, analitis dan advokasi kebijakan.

"Pencapaian penting telah dicapai di bidang ini oleh beberapa program kerja TRIPLE-F - mulai dari menganalisis dampak perdagangan manusia terhadap anak perempuan dan anak muda, memerangi pernikahan anak dan memajukan pembuatan kebijakan yang responsif gender, hingga mendukung pengusaha perempuan muda dan peran mereka dalam ekonomi digital," terang Fauziah.

Wujud promosi pengarusutamaan gender dalam memperkuat wanita muda untuk berwirausaha di bidang pertanian dan mengadvokasi data yang lebih baik untuk kebijakan inklusif gender selanjutnya akan disosialisasikan meski pun menemukan tembok yang tebal mengingat budaya Indonesia masih menganggap tabu.

"Sehingga, harapan kedepannya 'feedback' yang didapat dari audience tadi bisa minimal tahu dulu. Selain mereka bisa lebih peduli, sadar dan toleran kepada perbedaan oh ternyata banyak sekali perbedaan di lingkungan-lingkungan kita dan juga peduli terhadap isu-isu yang sedang ada di lingkungan entah tentang perempuan, tentang disabilitas yang sangat-sangat kontrakan ketimuran kita," bebernya.

Mengingat, setiap orang mempunyai hak asasi manusia dan kesetaraan minimal dalam pelayanan dalam kehidupan dalam pekerjaan.

"Sehingga, peran kami disini mengimplementasikan pada gender tetapi pada edukasi. Dan kita tidak menekankan pada kesetaraan gender dan tertarik tentang issu yang lain," imbuhnya.

Duta Besar Irlandia untuk Indonesia dan Asia,  Pádraig Francis menyambut baik dan sangat antusias dengan diskusi melibatkan berbagai kelompok marginal.

Sedikit berkiblat dengan apa yang terjadi di negaranya, Pádraig Francis menyebutkan jika kebijakan-kebijakan di Irlandia mencakup kelompok marginal ini dikategorikan dalam kebijakan sosial.

"Di negara kami dalam menangani persoalan isu-isu LGBT misalnya dibagi menjadi beberapa katagori dalam kebijakan social. Dan kami juga membantu yang miskin melalui NGO lokal yang berada di Irlandia," ujarnya.

Begitu juga soal kehidupan LGBT. Pádraig menilai, di Indonesia kurang adanya keterpihakan dengan LQBT lain halnya dengan telah diterapkan di Irlandia.

Dimana, hak-hak penganut LGBT sangat diperhatikan. Bahkan, kondisi komunitas LQBT mendapatkan perubahan besar dan ditahun 2015 melegalkan perkawinan sejenis. Tidak ada lagi kebencian-kebencian  yang berada di Irlandia.

"Kuncinya, keterbukaan sangat penting, sehingga tidak ada lagi kebencian-kebencian," pungkasnya.

Begitu juga terkait Disabilitas dan Gender, kebijakan di Irlandia dalam  Perusahaan tidak boleh menolak disabilitas dalam akses bekerja.

"Kesetaraan gender pada mahasiswa dimana yang sering dibahas di kampus tentang feminis dan kesetaraan gender di Irlandia. Menumbuhkan rasa kesetaraan gender sejak dini," ujarnya.