Pantang Berpaling Selesaikan Stunting

Aktivitas anak dengan stunting sedang beraktivitas di Rumah Pelita Manyaran Kecamatan Semarang Barat. RMOL Jateng
Aktivitas anak dengan stunting sedang beraktivitas di Rumah Pelita Manyaran Kecamatan Semarang Barat. RMOL Jateng

Deteksi stunting harus dilakukan sejak dini agar penanganan lebih optimal. Peran multisektor diperlukan agar edukasi berkelanjutan sedari remaja demi anak Indonesia terhindar dari risiko kekerdilan.


Warga Krobokan, Kota Semarang, Fitri Utami (27), setengah berlari menggendong Rafka Dwi Rahmadan (3) memasuki Rumah Pelita di Jalan Candi Pawon Timur III, Manyaran, Semarang Barat.

Anak bungsu ini tampak tenang di gendongan sang ibu sambil melambaikan tangan dan menyapa pengasuh.

“Maaf hari ini agak telat karena (pekerjaan rumah tangga) di rumah masih belum selesai,” ucapnya sembari ‘menyerahkan’ Rafka ke tangan pengasuh saat RMOL Jateng berkunjung ke Rumah Pelita, belum lama ini.

Fitri mengisahkan pertama kali didatangi petugas puskesmas yang menyarankan untuk ‘menitipkan’ Rafka ke Rumah Penanganan Stunting Lintas Sektor Bagi Balita (Rumah Pelita) terletak di belakang Rumah Duta Revolusi Mental Kecamatan Semarang Barat, beberapa bulan lalu. Saat itu, Rafka hanya memiliki berat badan 9 kg dengan keluhan Rafka susah makan dan BAB (buang air besar) 3-4 hari sekali. Bahkan, Rafka tidak mau sama sekali makan buah.

“Hampir satu bulan di sini bobotnya sudah naik 11 kg. Dulu di rumah juga sering sakit,” terang pemilik usaha warung di rumah ini.

Kebiasaan makan Rafka dengan hanya satu lauk membuatnya kurang cakupan gizi. Variasi makanan pun tidak banyak berubah dari hari ke hari. Saat Rafka suka satu lauk, dia akan lebih memilih jenis ikan tersebut berulang.

“Mungkin menunya beda di sini (Rumah Pelita) sama di rumah. Sebelumnya anak saya juga dikatakan gizi buruk, mungkin keturunan,” ucap perempuan yang memiliki suami berprofesi sebagai sopir tersebut.

Meski begitu, dia merasakan perubahan tubuh Rafka saat dititipkan di Rumah Pelita. Selain berat badan bertambah, anaknya jauh lebih sehat dan jarang sakit dibandingkan dahulu.

Rafka tak sendirian di Rumah Pelita, ada beberapa temannya memiliki status gizi serupa. Mereka bermain, belajar dan beraktivitas di daycare tersebut. Meski berhimpitan dengan rumah warga, Rumah Pelita terasa lebih asri dan sejuk. Di bagian dinding depan, tanaman-tanaman hidroponik tumbuh subur. Sirkulasi udara juga lancar bergantian di ruangan tersebut. Jendela kaca membuat pencahayaan terang beraktivitas di dalam ruangan. Beberapa permainan anak-anak untuk merangsang motorik juga tersedia.

Adapun kegiatan di Rumah Pelita meliputi senam, sarapan, pembelajaran PAUD, snack dan minum susu, tidur siang, makan siang, mandi dilanjutkan minum susu kembali sebelum pulang ke rumah. Anak dititipkan mulai pukul 08.00-16.00 WIB di Rumah Pelita.

Sedangkan, menu makanan untuk balita meliputi protein hewani terdiri dari dua buah, satu telur dan sayur bersantan.

“Kami memastikan anak-anak makan sampai habis. Misal, anak tidak terbiasa makan sendiri maka pengasuh akan menunggu. Kami pernah menunggu anak makan sampai dua jam di situ tantangannya,” kata Pengasuh Rumah Pelita Manyaran Lana Muthia Thaher di lokasi.

Saat ini, Rumah Pelita di Manyaran ini mengasuh beberapa anak balita stunting. Sekilas anak-anak tersebut tampak sehat seperti anak-anak pada umumnya. Namun, jika ditimbang berat badan ukur tinggi badan anak-anak ini di bawah standar atau memiliki status gizi kurang.

“Ada anak usia dua tahun dengan berat 8 Kg. Dari penampakan fisik tidak terlalu ketara padahal usia dua tahun, anak disebut sehat jika memiliki berat badan di atas 10 tahun,” terang dia.

Lana bersama pengasuh lainnya, Azizah Sri Endahwati, bergandengan tangan menangani belasan anak dengan karakteristik masing-masing.

Pihaknya berkolaborasi dengan Puskesmas Kecamatan Semarang Barat mendata balita dengan kriteria stunting. Lalu, pihak puskesmas merekomendasikan kepada orang tua untuk dibawa ke Rumah Pelita. Di sini tantangannya, karena tidak semua orangtua mengijinkan anak mereka ditingkatkan status gizinya.

“Orang tua merasa malu anak disebut stunting,” ujar lagi.

Rumah Pelita diresmikan pada 20 Februari 2023 oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Kehadiran Rumah Pelita untuk mengatasi stunting di Kota Semarang.

Selain Manyaran, ada tiga lokasi lain seperti Patemon, Bulusan dan Bandarharjo. Bayi stunting ditingkatkan status gizi di Rumah Pelita berusia enam bulan hingga lima tahun dan tidak dibebankan biaya alias gratis.

Bahaya stunting bagi anak antara lain mengakibatkan anak mudah sakit, imunitas turun, neurologis tidak berkembang. Lalu, faktor pemicu stunting meliputi penyerapan makanan tidak sempurna, ekonomi lemah, lingkungan minim air bersih dan edukasi orang tua terkait bahaya stunting.

“Jadi permasalahan stunting kompleks tidak hanya satu elemen saja bergerak melainkan bersama-sama,” terang dia.

Kapan anak dinyatakan ‘lulus’ dari Rumah Pelita? Anak mengalami peningkatan berat badan sekitar 1,5-2 kg dalam tiga bulan.

Pengasuh Rumah Pelita menunjukkan foto anak telah dinyatakan lulus stunting, di Rumah Pelita Manyaran Kecamatan Semarang Barat. RMOL Jateng

“Sudah sekitar delapan anak, sejak Rumah Pelita di Manyaran buka, telah dinyatakan lulus. Pola hidup sehat diterapkan di Rumah Pelita diharapkan diterapkan juga di rumah. Karena bayi sudah ‘lulus’ tidak boleh masuk lagi karena masih ada anak-anak lain membutuhkan,” terang dia.

Pencegahan stunting tidak hanya menjangkau anak, ibu hamil turut menjadi sasaran. Edukasi dan pemeriksaan berkala pada ibu hamil akan mengurangi risiko stunting.

Di Rumah Pelita juga ada penyuluhan bagi ibu hamil pada hari Selasa dan Jumat. Meliputi pemeriksaan kesehatan, tekanan darah, berat badan, penyuluhan trimester, makanan bergizi hingga persiapan kehamilan.

Ibu hamil mendapat penyuluhan di Rumah Pelita Manyaran Kecamatan Semarang Barat sebagai salah satu upaya pencegahan dini stunting, belum lama ini. RMOL Jateng

Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, M Abdul Hakam mengatakan, balita dengan kriteria stunting dirawat di Rumah Pelita tanpa dibebani biaya.

“Namun mereka justru ketakutan, padahal saat dibuka dan dihadiri oleh Bu Wali Kota dan Bu Menteri, tapi masih ada anggapan masyarakat apakah beneran atau tipu-tipu,” kata Hakam, di Kota Semarang.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang M Abdul Hakam. RMOL Jateng

Oleh sebab itu, dibutuhkan trust (kepercayaan) dengan menggandeng kepala desa serta tokoh masyarakat.

Berdasarkan data dinkes, pada September 2023 tercatat 938 anak masih masuk kriteria stunting di Kota Semarang. Angka ini menurun dibandingkan bulan Agustus mencapai 1022 anak.

Selain itu, tercatat kasus stunting ditemukan merata di 16 kecamatan di Ibu Kota Jawa Tengah ini.

Kasus tertinggi tercatat berada di wilayah Kecamatan Semarang Utara pada September 2023 mencapai 159 orang.

Meski merata di seluruh kecamatan, dinkes mencatat masih ada wilayah tanpa adanya kasus atau zero stunting.

Ada 23 kelurahan tersebar di 10 kecamatan di Kota Semarang mencatatkan zero stunting pada September 2023.

“Pemkot menargetkan penanganan stunting sampai akhir 2022 bisa turun hingga 10,4 persen. Di akhir 2023 targetnya lima persen bisa nembus (tercapai),” kata dia lagi.

Hakam menyebutkan asupan 1500 kalori  harus dipenuhi bayi agar memenuhi kebutuhan gizi dan efektif menurunkan angka stunting.

Di luar faktor kesehatan, kata dia, stunting juga membutuhkan kontribusi dari pihak lain. Misalkan, mengatasi rumah tidak layak huni, sanitasi tidak layak serta penyediaan kebutuhan air bersih.

“Penanganan stunting harus didukung semua pihak dan tidak bisa dipisahkan intervensi satu sama lain. Harapannya, anak tetap sehat saat dirawat kembali ke rumah,” ujar dia.

Deretan Program Naikkan Status Gizi Anak

Upaya penuntasan stunting dilakukan mulai tingkat pusat hingga daerah melalui berbagai program.

Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah, Sumarno mengatakan, pihaknya terus bersinergi untuk menangani stunting. Ada beberapa hal dievaluasi dalam penanganan stunting.

“Kalau hasil evaluasi, penyebab utama stunting Jateng adalah perilaku. Kan kesadaran. Ini yang menjadi program DP3AKB, 'Jo Kawin Bocah'. Itu (menikah usia dini) masih banyak terjadi,” kata Sekda seperti dilansir dari jatengprov.go.id.

Selanjutnya, perlu dievaluasi adalah pentingnya perilaku kesadaran terkait sanitasi lingkungan, kesadaran mengonsumsi makanan bergizi. Pemprov Jateng telah mengeluarkan program inovasi penanganan stunting meliputi kegotongroyongan. Ada Jogo Tonggo, Jogo Konco, FK Mitra dan Jateng Gayeng Nginceng Wong Meteng. Semua program merupakan bentuk kepedulian dari sesama.

Sedangkan di Kota Semarang, beberapa program dilaksanakan untuk menekan angka stunting. Diantaranya Rumah Pelita hingga program Milineal Gotong Royong Atasi Stunting (Melon Musk). Selanjutnya masih ada Rumah Sigap (Siapkan Generasi Anak Berprestasi).

“Rumah Pelita lebih menitikberatkan pada penanganan anak yang sudah mengalami stunting. Sedamgkan Rumah Sigap lebih menitikberatkan penanganan prastunting ataupun anak memiliki risiko stunting,” sambut Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu.

Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu saat meninjau day care untuk penanganan stunting di ibukota Provinsi Jateng ini. Dok

Program lain untuk membantu menurunkan angka stunting adalah GenRe (Generasi Berencana), Forum Anak, Karang Taruna, Forum OSIS dan lainnya.

“Kami juga menggandeng milineal melalui Melon Musk untuk membantu menjelaskan kepada teman-temannya. Ini nanti bisa menjadi contoh, bagaimana anak milineal mendorong upaya penurunan stunting,” kata Wali Kota Ita, begitu Wali Kota Semarang biasa disapa. 

Target dari Pemerintah Kota Semarang mengenai masalah stunting adalah nol kasus stunting di tahun 2024.

“Semoga dengan adanya Rumah Sigap dan Rumah Pelita dapat menurunkan dan mencegah ibu anemia maupun anak-anak risiko stunting,” kata dia.

Bergerak Stimultan Urai Permasalahan

Stunting harus ditangani dengan tepat. Jika tidak, dikhawatirkan akan memiliki dampak memprihatinkan baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Ketua KSM Gizi Klinik RSI Sultan Agung Dr. dr. Minidian Fasitasari, MSc., SpGK (K) mengatakan, untuk jangka pendek antara lain sistem imun kurang, anak jadi terganggu kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan.

“Orangtua harus mengeluarkan biaya jika anak sakit,” ucap Dosen Ilmu Gizi FK Unissula tersebut.

Sedangkan untuk jangka panjang adalah risiko dewasa menjadi lebih pendek, gangguan reproduksi terutama perempuan.

“Kemampuan sekolah atau kelak produktivitas atau kemampuan kerja tidak bisa bersaing jadi berdampak antargenerasi ke generasi jika tidak diupayakan bersama,” terang dia.

Oleh sebab itu, kata dia, upaya pencegahan stunting harus secara simultan, bergerak bersama mengurai permasalahan.

Penyebab langsung stunting adalah asupan gizi tidak memadai dan adanya penyakit. Sedangkan, penyebab tidak langsung adalah ketersediaan pangan kurang, pola asuh tidak memadai, pelayanan kesehatan tidak memadai.

“Penyebab dasar meliputi kondisi sosekbudpol, akses ke sumber daya terbatas. Adapun kendala di lapangan biasanya menyangkut sustainable program,” terang dia.

Langkah efektif untuk mencegah stunting adalah pemenuhan gizi sedini mungkin. Rantai kehidupan mulai diupayakan dari remaja putri sebelum menikah, ibu hamil hingga melahirkan harus terpenuhi cakupan gizi.

“Balita terkena stunting harus ditingkatkan asupan gizi. Selain itu, agar balita tetap sehat harus disembuhkan penyakit penyerta jika ada dan melakukan pendampingan sekaligus monitoring dan evalusi,” terang dia.