Pembangunan Kolam Retensi Masih Terkendala 51 Bidang Tanah Musnah yang Belum Dibebaskan

Pembangunan kolam retensi untuk menangani  banjir di kawasan timur dan utara Kota Semarang yang rencananya akan dibangun di Tambaklorok masih terkendala oleh pembebasan sejumlah lahan.


Pemerintah pusat rencananya akan membangun kolam retensi seluas 250 hektar. Namun untuk mewujudkan pembangunan tersebut masih ada 51 bidang lahan yang harus dibebaskan. 

51 bidang lahan tersebut saat ini berstatus tanah musnah yang artinya sudah tidak produktif atau tidak difungsikan sesuai dengan peruntukannya.

Kepala Kantor Pertanahan/BPN Kota Semarang, Sigit Rahmawan Adi mengatakan untuk menetapkan sebuah lahan yang dianggap musnah atau tidak harus melihat kriteria hukum tanah tersebut.

“Kebetulan di lahan yang direncanakan untuk pembangunan kolam retensi 250 hektar tersebut itu ternyata ada pengadaan tanah. Termasuk untuk pembangunan tol,” kata Sigit usai melakukan rapat koordinasi dengan Plt Walikota Semarang terkait dengan penanggulangan banjir, di Balaikota Semarang, Rabu (4/1/2023).

Sigit menyebut sesuai dengan pasal 26 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 yang menyatakan bahwa tanah atau lahan tersebut harus hilang agar memenuhi kriteria ‘musnah’ yakni tanah tersebut sudah hilang atau bukan lagi berupa tanah.

Meski demikian, ia mengatakan memang sudah ada aturan pelaksanaan penetapan status tanah musnah melalui Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Agraria (ATR/BPN) Nomor 17 Tahun 2021 (Permen ATR/BPN 17/2021).

“Nah jadi sebenarnya status musnahnya status hukum tanah itu sudah ada aturannya. Sehingga setelah itu memang harusnya ada aturan pelaksanaan untuk memperjelas status musnah tanah tersebut. Jadi memang ada ketentuan dan kriterianya,” paparnya.

Sigit menjelaskan jika memang tanah yang direncanakan sebagai lokasi pembangunan kolam retensi tersebut memang tanah musnah, maka aturan-aturan yang telah disebutkan tadi akan dijalankan untuk menentukan penetapan tanah musnah atau tidak.

“Dalam rangka pengadaan tanah untuk pembangunan. Dan pengadaan tanah itu sendiri kami menggunakan Peraturan Presiden Nomor 22 tahun 2022. Nah tanah musnah sendiri secara definiitf adalah tanah yang tidak difungsikan sesuai dengan peruntukannya,” bebernya.

Permasalahan tanah musnah tersebut hingga saat ini belum terbebaskan karena masyarakat mengklaim sebagai pemilik 51 bidang tanah tersebut memiliki sertifikat. Hal tersebut hingga saat ini masih dalam tahap pembahasan.

“Nah masalahnya sekarang adalah masyarakat ternyata punya sertifikat. Maka masyarakat meminta sertifikat diganti dengan harga yang sama dengan sertifikat. Nah ini lah yang sekarang ini sedang kami bahas,” tuturnya.

Jika terbukti tanah tersebut adalah tanah musnah, maka masyarakat yang merasa memiliki lahan tersebut akan mendapatkan uang kerohiman. 

"Tapi aturan uang kerohiman itu sendiri kewenangannya ada di Menteri Koordinator Ekonomi. Hal tersebut terus kami bicarakan,” bebernya. 

Sementara itu, Plt Walikota Semarang, Hevearita G. Rahayu mengatakan permasalahan tanah musnah ini memang menjadi ranah ATR/BPN. 

Namun Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang juga tidak tinggal diam. Pihaknya berusaha meyakinkan masyarakat pemilik tanah musnah ini untuk dibebaskan lahannya guna pembangunan kolam retensi.

“Kami minta masyarakat bisa kooperatif agar lahan bisa segera dibebaskan. Jika pembebasan lahan sudah selesai maka pembangunan kolam retensi ini kan bisa dilakukan dan keuntungannya juga masyarakat akan terbebas dari banjir,” papar Ita, sapaan akrabnya.