Pengacara Tuntut Cabut SIP Dan Tahan Segera Para Tersangka

Pengacara Misyal Ahmad (Sebelah Kanan) Membuat Tuntutan Pencabutan SIP Bagi Para Tersangka Bullying Mahasiswi Undip. Dokumentasi
Pengacara Misyal Ahmad (Sebelah Kanan) Membuat Tuntutan Pencabutan SIP Bagi Para Tersangka Bullying Mahasiswi Undip. Dokumentasi

Tegal - Kuasa hukum keluarga almarhumah dr. Aulia Risma Lestari, Misyal Achmad, meminta ketiga tersangka yang telah ditetapkan polisi segera ditahan.

Misyal, pengacara mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi FK Undip, yang meninggal dunia dan menjadi korban bullying dan kekerasan senior dan otoritas kampus ini menyatakan bahwa penahanan harus dilakukan untuk mengantisipasi agar para tersangka tidak menghilangkan barang bukti dan juga tidak akan mengulangi perbuatannya.

“Karena ancaman hukumannya lima tahun ke atas, bisa ditahan dan penyidik juga berwenang menahan meski  ancamannya dibawah 5 tahun. Untuk ini, kami mengajukan permohonan agar segera dilakukan penahanan terhadap tersangka,” katanya.

“Mengingat lamanya prosedur kami khawatir tersangka akan menghilangkan barang bukti dan mengulangi tindak kejahatannya,” jelas Misyal, Selasa (24/12).

Selain itu, Misyal menambahkan bahwa sebagai upaya penegakan kode etik profesi kedoteran maka pihaknya akan berjuang agar izin praktek dokternya dicabut.

"Kami akan menuntut agar dokter-dokter yang menjadi tersangka ini tidak lagi bisa menjadi dokter sampai kapan pun. Karena cacat mental yang diderita para tersangka, maka saya minta agar SIP-nya (Surat Izin Praktek - red) dicabut," katanya.

Tuntutan Misyal berikutnya adalah agar dua tersangka yang menyandang profesi dosen juga tidak akan medapatkan ruang untuk mengajar lagi. "Kami meminta agar melarang kedua tersangka mengajar. Praktik saja tidak boleh apalagi mengajar, tidak boleh. Saya akan wujudkan itu," tegasnya.

Misyal juga menyesalkan keberpihakan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr. M. Adib Khumaidi yang menyiapkan pengacara untuk mendampingi para tersangka. "Kenapa tersangkanya yang dibela, bukannya menyiapkan lawyer untuk mendampingi korban? Harusnya IDI yang menyiapkan lawyernya, jadi bukan saya. Terasa aneh saja, kenapa  dr. Adib pilih mendampingi pelaku, bukan korbannya?" ungkap Misyal.

Menurutnya, kasus bullying yang berujung pada kematian ini tergolong sulit karena korbannya meninggal dunia. Perihal bullying ini, pelapor seharusnya dari korban. Sebab itulah pihaknya mewakili pihak keluarga untuk melaporkan perihal pemerasannya.

Selain mengapresiasi upaya penyidik Polda Jateng untuk mengusut tuntas kasus ini, Misyal juga meminta Kementrian Kesehatan proaktif menyikapi budaya bullying ini.

"Kami juga mendesak Kemenkes untuk membentuk Satgas Anti-Bullying. Kami yakin banyak kejadian serupa, sehingga diharapkan Satgas (satuan tugas - red) ini dapat membantu mereka yang tidak berani melapor meski sudah mengalami tekanan saat menjalani PPDS ini," tegasnya.