Keberhasilan penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) yang rutin digelar setiap lima tahun sekali, tergantung pada tiga komponen strategis. Yakni masyarakat dan peserta Pemilu (perseorangan/DPD RI dan parpol/DPR-DPRD) serta Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara.
- Ketua PGSI: Demi Mendulang Suara, Calon Kepala Daerah Jangan Ugal-Ugalan Obral Janji
- Pj Gubernur Jateng Targetkan 82% Partisipasi Pemilih pada Pilkada Serentak 2024
- Ganjar Tidak Mau Berkompromi dengan Koruptor
Baca Juga
Karena itulah agar Pemilu berlangsung dengan baik, sebagai penyelenggara sudah semestinya KPU memberikan pelayanan optimal dan bersinergi dengan subjek.
"Namun realitasnya, KPU memposisikan calon peserta Pemilu sebagai objek. Sehingga semua Peraturan KPU terkesan intimidatif, mendadak, perbedaan perlakuan dan tidak memperhatikan kondisi kemampuan dari calon peserta Pemilu," kata bakal calon Anggota DPD RI, Slamet Abadi di Jakarta, Senin (9/7).
Menurut Slamet, jika hal ini dibiarkan maka KPU dapat terjebak pada penyalahgunaan kekuasaan. Indikasi itu nampak dengan adanya perbedaan perlakuan dalam melayani calon peserta pemilu.
Seperti pada Pasal 60 ayat (1) huruf u Peraturan KPU 14/2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD disebutkan:
"Perseorangan peserta Pemilu, dapat menjadi bakal calon perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD setelah memenuhi persyaratan, antara lain: telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara".
Sedangkan dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD disebutkan:
"Dalam hal bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) ditetapkan sebagai calon terpilih, yang bersangkutan wajib melaporkan harta kekayaan kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan harta kekayaan penyelenggara negara."
"Dari kutipan dua PKPU yang mengatur pencalonan DPD dan DPR/DPRD tersebut terlihat jelas perlakuan yang berbeda, ya mestinya disamakan dong, sebab calon DPD RI dan DPR-DPRD, itu sama-sama calon anggota Lembaga legislatif," papar Slamet seperti dikutip Kantor Berita Politik
Ia juga mengusulkan sebagai solusi permasalahan tersebut, KPU maupun KPUD DKI Jakarta memanggil semua calon peserta pemilu terutama dari calon peserta pemilu Perseorangan, untuk bermusyawarah mencari solusi bersama.
"Ya, kalau memang PKPU 14/2018 harus dilaksanakan, kami berharap KPU bijaksana, misalnya penyampaian LHKPN setelah bakal calon DPD masuk Daftar Calon Tetap sebagai peserta pemilu 2019, atau setelah dilantik. Sekarang prioritaskan terlebih dahulu penerimaan persyaratan sebagai peserta pemilu yang tercantum di UU Pemilu," pungkasnya.
- Dilaporkan ke KPK, Gibran : Fokus Nyambut Gawe
- PDIP: Daripada 5 Cawapres Dari LSI, Mending Puan Maharani
- Hasil Quick Count 77,55 Persen, Amalia Ajak Majukan Banjarnegara