Wacana mendorong pembentukan poros ketiga di luar Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019 merupakan hal yang lumrah. Wacana ini merupakan bagian dari otak atik politik yang didasarkan pada strategi membaca situasi dan kondisi untuk mencapai tujuan.
- Rizal Bawazier Minta Pemerintah Jemput Bola Rekrut SDM untuk KIT Batang
- Tahapan Pemilu Dimulai Paling Lambat Juni 2022
- Yasonna: Perjanjian Ekstradisi Harus Diratifikasi agar Koruptor Tak Sembunyi Lagi di Singapura
Baca Juga
"Dalam pertarungan politik itu selalu ada kalkulasi dan otak-atik politik," ujar pengamat politik Direktur Lembaga Riset Indo Survey and Strategy (ISS) Karyono Wibowo kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (15/3).
Menurut Karyono, ada beberapa target yang ingin dicapai dengan adanya isu wacana poros baru tersebut, salah satunya menaikan posisi tawar politik.
"Ada juga yang memiliki target serius untuk mewujudkan poros baru yang didasarkan pada kalkulasi kekuatan riil politik untuk memenangkan kompetisi," tukasnya.
Selain itu, Karyono juga mencium aroma politik poros ketiga sengaja didorong untuk membelah suara, dengan harapan agar dukungan suara ke Jokowi tidak mencapai 50 persen plus, sehingga terjadi pilpres dua putaran.
"Dengan demikian masih ada peluang untuk mengalahkan Jokowi di putaran kedua, jika lawan Jokowi berhasil menyatukan kekuatan dengan berkoalisi dengan pihak kandidat yang gagal masuk di putaran kedua," tandasnya.
"Nampaknya, ada hasrat terselubung di balik ambisi membentuk poros ketiga yaitu dengan menggunakan pola yang mirip di Pilkada DKI Jakarta," ungkap Karyono.
- Besok Tujuh Parpol Setor Bakal Caleg Ke KPU
- KPK Berharap Anggaran 2019 Yang Diajukan Tak Dikurangi
- Anggota DPRD Fraksi PKB Demak, Edi Sayudi Optimis Calonkan Diri di Pilkada Demak 2024