Sikap Pemerintah memberi keleluasaan pada Premium akan berdampak buruk pada masyarakat. Kebijakan tersebut seakan-akan membantu meringankan beban ekonomi, namun sesungguhnya bisa membunuh rakyat dalam jangka panjang.
- Bawaslu Jateng Gelar Apel Siaga di TWC Borobudur
- Calon Gubernur Simon Petrus Kamlasi: Atasi Kekeringan Dan Sediakan Air Bersih
- Menyambut Pemilu: Tabligh Akbar Sebagai Upaya Menghindari Perpecahan Masyarakat Karanganyar
Baca Juga
Begitu dikatakan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman saat dikontak, Sabtu (19/5).
"Premium ini seperti meracuni rakyat, karena bisa menyebabkan kanker dan kematian. Dan yang paling terdampak adalah rakyat kecil, termasuk pedagang kaki lima. Mereka di pinggir jalan, tidak di dalam mobil ber-AC, tidak masuk gedung atau mal seperti orang kaya. Kalau sudah terkena, mereka juga susah untuk berobat," jelasnya.
Yusri meminta Pemerintah agar tegas menghapus Premium. Penghapusan tersebut dianggap mendesak, karena Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah menerbitkan Permen Nomor
P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017 Tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategori N, dan Kategori O.
"Pemerintah tidak bisa menerapkan kebijakan yang bertentangan peraturan tersebut. Karena Pemerintah harus fokus dan memprioritaskan hak hidup masyarakat untuk menerima kesehatan," kata dia seperti dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL
Jika Pemerintah tegas menghapus Premium, Yusri yakin tidak akan ada gejolak. Terpenting, Pemerintah secara simultan harus memberi edukasi mengenai bahaya BBM oktan rendah tersebut.
Faktanya, masyarakat pun sebenarnya sudah terbiasa membeli BBM di tingkat eceran yang harganya jauh lebih mahal. Bahkan di Papua, sebelum Pemerintah menerapkan Program BBM Satu Harga, masyarakat setempat juga sudah membeli BBM dengan harga mencapai Rp60 ribu-100 ribu per liter.
"Artinya, jika Pemerintah tegas menghapus Premium, sebenarnya tidak akan berdampak besar pada masyarakat," lanjutnya.
Kerugian akibat emisi karbon Premium memang sangat besar. Di Jakarta saja, pada 2016, biaya pengobatan penyakit karena pencemaran udara sudah mencapai Rp51,2 triliun. Sementara dilihat dari jumlah penduduk yang terpapar penyakit akibat buruknya kualitas udara, sudah mencapai 58,3 persen.
Ironisnya, kebijakan Pemerintah saat ini justru melanggengkan keberadaan Premium. Padahal, lanjut Yusri, tidak ada Negara lain di dunia yang mempergunakan BBM RON rendah, kecuali Indonesia. Bahkan di Asia Tenggara, Vietnam dan Filipina pun telah menghentikan peredaran BBM di bawah RON 90.
"Dalam hal ini, Indonesia adalah negara paling tertinggal di dunia," tandasnya.
- Dance Janji Perjuangkan BPJS Bagi Jukir Salatiga
- Lima Kriteria Cawapres Jokowi Yang Akan Terpilih
- Rayakan HUT ke-11, DPW Partai Nasdem Jateng Gelar 3 Aksi Sosial