Prihatin Dengan Kondisi Unnes, 275 Alumni Sampaikan Karangan Bunga

Sebanyak 275 alumni Universitas Negeri Semarang (Unnes) mengirimkan karangan bunga ke almamater mereka.


Karangan bunga tersebut bukan sebagai tanda ucapan selamat melainkan bentuk kepedulian alumni Unnes terhadap kondisi Unnes saat ini yang dirasa semakin tidak kondusif.

Perwakilan alumni, Danang Cahya Firmansiah, mengatakan pihaknya menyayangkan hal itu terjadi di Unnes. Setelah memperhatikan kondisi yang semakin tidak kondusif itu, Alumni sepakat mengirimkan karangan bunga ke kantor Rektorat Unnes.

"Bunga sebagai simbol keharuman. Alumni berharap keharuman dan keluhuran kampus bisa terjaga, tidak terkotori dengan tindakan represif dan antidemokrasi," kata Danang, Kamis (12/3).

Danang menambahkan, terdapat enam poin yang disampaikan para alumni kepada rektor Unnes, Fathur Rokhman, saat menghantar karangan bunga.

Para alumni ingin agar Unnes mau membuka ruang berekspresi dan berpendapat seluas-luasnya di Unnes. Lalu menghentikan segala tindakan represif dan kriminalisasi.

Selain itu, para alumni meminta Fathur Rokhman bertanggung jawab atas segala tindakan antidemokrasi yang melibatkan dia di lingkungan Unnes.

"Kami juga meminta Unnes mencabut surat keputusan pembebastugasan sementara dosen bernama Sucipto Hadi Purnomo dan segera mengembalikan nama baik yang bersangkutan. Mencabut laporan di kepolisian terhadap Yunantyo Adi Setyawan. Menjunjung tinggi marwah kampus Unnes dengan memisahkan kepentingan pribadi dan lembaga," tandasnya.

Danang menilai kondisi Unnes semakin tidak kondusif sejak tahun 2016. Menurutnya, banyak kebijakan Fathur Rokhman yang dinilai menimbulkan kontroversi, salah satunya, kebijakan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) pada 2016 bagi mahasiswa baru jalur Ujian Mandiri yang ditolak para mahasiswa.

"Kebijakan SPI menuai kontroversi karena kampus sudah mengeluarkan kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Akibat kebijakan itu, para mahasiswa Unnes melakukan demonstrasi, menuntut penghapusan SPI yang mereka rasakan memberatkan mahasiswa baru jalur Ujian Mandiri," terangnya.

Tak berhenti di situ, pada tahun 2017, pihak kampus melaporkan dua mahasiswa, Julio Belnanda Harianja dan Haris Ahmad Muzaki, yang lantang menolak kebijakan SPI, ke kepolisian.

Unnes sebagai pelapor menggunakan dalil pasal karet Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk menjerat dua mahasiswa itu.

Itu didasari langkah kedua mahasiswa yang mengunggah status di media sosial terkait dengan penolakan terhadap kebijakan SPI.

Saat kampus belum tuntas menyelesaikan persoalan SPI, pada 2018 muncul dugaan kasus plagiasi yang dilakukan oleh Rektor Unnes, Fathur Rokhman.

Berita menyoal plagiasi itu diunggah di media online. Atas berita itu, Fathur Rokhman melaporkan wartawan yang menulis berita tersebut ke pihak kepolisian.

"Rentetan kasus itu membuat keadaan makin runyam saat dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Unnes, Dr. Sucipto Hadi Purnomo, MPd. dinonaktifkan sementara sebagai pengajar. Skorsing itu diduga berkait dengan aktivitas Sucipto sebagai anggota tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti)," katanya.

Belum berhenti pada penonaktifan Sucipto Hadi Purnomo, Fathur Rokhman melaporkan seorang anggota presidium Gusdurian Jawa Tengah-Yogyakarta yang juga aktivis dan pegiat sosial, Yunantyo Adi Setyawan (YAS) ke kepolisian. Menurut Fathur Rokman, Yunantyo dilaporkan ke kepolisian karena mencemarkan nama baiknya.

Hal itu berkait dengan tindakan Yunantyo yang melaporkan dugaan plagiasi dalam disertasi Fathur Rokhman ke Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2018. Kini, laporan tersebut masih diproses oleh UGM.