Saving Private Ana, Memulihkan Jiwa dari Derita Luka Batin yang Panjang

Gerakan #peduliANA
Potret diri Ana, sebelum dan saat mengalami gangguan kejiwaan. / ist
Potret diri Ana, sebelum dan saat mengalami gangguan kejiwaan. / ist

Mengembalikan yang dulu hilang, memulihkan jiwa dari derita luka batin yang panjang. Boleh jadi, itulah spirit Gerakan Peduli Ana. Digagas oleh rekan-rekan eks Mudika (muda-mudi Katolik) Gereja Santo Petrus Pekalongan. Gerakan ini bagaikan kisah film Saving Private Ryan tahun 1998 silam yang diperankan Tom Hanks untuk menyelamatkan prajurit bernama Ryan. Tapi Ana, memang bukan Ryan, yang harus diselamatkan karena tiga saudaranya tewas di medan perang, dan dia menjadi anak satu-satunya yang harus diselamatkan. Ana – seperti halnya Ryan, wajib diselamatkan dari jalanan, sekaligus dipulihkan jiwanya dari derita luka batin yang panjang.


Nama lengkapnya, Anastasia Fitri Apridiana. Lahir di Pekalongan, 7 Oktober 1975, sebagai anak ketiga dari 4 bersaudara. MM Sri Ratri Hari Wardani, sahabat masa kecil Ana kepada RMOL Jateng, Selasa (9/11) menuturkan,  Ana semula adalah sosok anak yang cerdas dan periang. Dia dan Ana selain bertetangga, juga satu sekolah saat TK, SD dan SMP. ‘’Kami hanya pisah saat  SMA. Kami juga aktif di Mudika gereja,’’ ungkap wanita yang biasa disapa dengan nama Danik itu.

Ana saat bersama teman-teman Mudika di Gereja Santo Petrus Pekalongan di era tahun 1990-an. / ist 

Menurut Danik, walaupun didikan sang ayah yang tergolong keras, namun Ana selalu berupaya menyembunyikan kepada rekan-rekannya. Dia selalu tampil riang, walau sebenarnya menyimpan masalah. Di sekolah, Ana, juga termasuk siswa cerdas. ‘’Dia selalu ingin tampil sebagai juara 1. Ana selalu ingin tampil perfect. Saya ingat, saat lomba hari Kartini, dia hanya juara 2. Ana sangat kecewa dan menolak ambil pialanya, karena dia inginnya juara 1,’’ ungkap Danik.

Saat kuliah pada 1994, dia dan Ana berpisah. Danik berkuliah di kota gudeg, Yogya, Ana memilih masuk jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Unika Soegijapranata Semarang.  Mereka lama tak bertemu. Tapi, dia mendengar kabar, usai tamat kuliah, Ana bekerja di sebuah perusahaan kontraktor sebagai arsitek. Gajinya terbilang lumayan besar, untuk seorang sarjana baru lulus.  Prestasi itu membuat  keluarga Ana bangga.

Namun, Danik menuturkan, di sekitar  tahun 2004, saat dia pulang kampung ke Pekalongan. Dia kaget, karena mendengar kabar jika Ana mengalami depresi.  Penyebabnya, simpang siur. Mulai dari asmara yang tak direstui, KDRT di rumah, hingga dikecewakan pacar.  ‘’Waktu saya ajak bicara, kadang nyambung, kadang tidak. Dia sering berhalusinasi, kalau lihat gedung, dia bilang dia yang bangun. Dia juga mulai menggelandang di jalanan, walau masih dekat rumah,’’ ujarnya.

Saat ibunya meninggal dunia, Ana juga disebut ‘protes’. Dia mengurung diri di kamar.  Saat itu, depresinya kian parah. Ana bahkan kerap menghilang untuk waktu sangat lama. Dia menggelandang di pasar dan jalanan, dan berhari-hari tak pulang. Keluarganya menyerah. Akibatnya, Ana telantar dan hidup di jalanan. Untuk menyambung hidup, dia bahkan mengais sisa makanan dari tong sampah. Kulitnya pun berubah jadi legam karena terpanggang matahari.

Melihat kondisi sahabat masa kecilnya itu, Danik tersentuh. ‘’Saya langsung menghubungi rekan-rekan alumni sekolahnya. Tapi tak membuahkan hasil, ada yang katanya mau membantu tapi tidak jadi,’’ kata Danik.

Tak menyerah, Danik kemudian menghubungi rekan-rekannya eks Mudika gerejanya. ‘’Puji Tuhan, respon teman-teman sangat positif. Bantuan mengalir, dan minta Ana agar secepatnya diselamatkan,’’ imbuhnya.

Bimo Eriartha, rekan eks Mudika yang kini bermukim di Singapura, kemudian menggalang dana bersama seluruh alumni Mudika yang telah menyebar di dalam maupun luar negeri untuk membantu Ana, dalam sebuah gerakan bernama Gerakan Peduli Ana.

‘’Dari semula hanya terbatas teman-teman alumni Mudika, kami bahkan mendapat banyak dukungan dana dari teman-teman sekolah dan masyarakat umum yang bersimpati pada Ana,’’ ujar Bimo.

Danik kemudian bergerak cepat dengan mencari informasi tentang pelayanan untuk memulihkan jiwa Ana.

‘’Saya googling, dan ketemu Griya Pemulihan Siloam, yang ada di Sleman, Yogyakarta. Tadinya, mau di rumah sakit. Tapi khawatir hanya diobati secara medis, sebab mental dan  jiwa Ana pun perlu dipulihkan, makanya kita pilih ke Siloam,’’ ujar Danik, menambahkan.

Dari donasi itu, gerakan kemanusiaan ini mampu membiayai rehabilitasi yang mencapai Rp2 juta per bulan.

Ana (kaos ungu garis hitam) bersama teman-teman saat kuliah di Unika Soegijapranata Semarang. / ist

Siloam meminta agar Ana diurus syarat administrasinya. Dia harus punya KTP dan KK. Ternyata, selama ini, Ana tak terdaftar di KK, dan tak memiliki KTP.  ‘’Tanggal 26 Oktober, kami berhasil mengantar Ana membuat KTP dan memasukkan Ana dalam KK kakaknya. Dengan berkas kependudukan itu, Ana akhirnya juga bisa divaksin Covid-19. Pada 1 November, Ana akhirnya mulai menjalani rehabilitasi di Siloam,’’  ujar Danik.

Direktur Griya Pemulihan Siloam, Pdt Ester Budi Sri Sulistiowati, yang dihubungi terpisah, mengatakan, Ana mengalami Psikotik atau gangguan jiwa. Dia skizoprenia paranioid. Dalam istilah medis, dia adalah gelandangan psikotik.

‘’Puji Tuhan, memorinya kuat,  mungkin karena dia juga bukan orang sembarangan, dia sarjana arsitektur,’’ ungkap Ester. Griya Pemulihan Siloam berada di Seyegan RT 01, RW 5 Margoluwih, Sleman, Yogyakarta.

Menurut Ester,  Ana juga mengalami waham, yakni punya pemikiran yang  tak sesuai realita, serta memiliki kecurigaan tinggi pada setiap hal. ‘’Kami bekerja keras, membuatnya pulih, bukan hanya sembuh. Kalau sembuh, suatu saat bisa kambuh lagi. Tapi kalau pulih, dia bisa kembali normal,’’ ujarnya.

Ana, kata Ester, juga diajari berdoa, melibatkan Tuhan Yesus dalam menyelesaikan masalah dan penyakit kejiwaan yang dideritanya.

‘’Dia punya luka batin dan akar kepahitan. Keluarga tak mau menerima, bisa jadi karena stigma dan diskriminasi, malu jika ada anggota keluarga yang sakit jiwa,’’ ujarnya.

Saat ini, Griya Pemulihan Siloam merawat 25 orang berusia antara 15-60 tahun, yang rawat inap maupun rawat jalan. Ada yang gangguan jiwa murni atau sakit jiwa akibat narkoba.

‘’85 persen memiliki gangguan kejiwaan seperti Ana. Puji Tuhan, banyak pasien kami yang telah pulih total, ada yang ambil sekolah S2, bekerja, wirausaha, dan membina rumah tangga,’’ ungkapnya.

Ester menegaskan, ketika orang mengalami skizoprenia, bukan berarti tak punya masa depan. Tak ada istilah gila atau edan, karena itu labeling dari masyarakat.

‘’Mereka sakit, karena zat dhopamin dan serotonin di dalam otak yang tak seimbang sehingga berdampak pada halusinasi pancaindra, paranoid. Selain kepada pasien, keluarga pasien juga dikonseling dan diedukasi,’’ tegasnya.

Untuk pemulihan,  diakui Ester, memang butuh waktu panjang hingga 2-3 tahun, sampai kondisinya stabil.

Lantas, bagaimana nasib Ana setelah kondisinya kelak pulih? Danik mengaku, pihaknya akan bekerjasama dengan pihak keluarga, utama kakaknya. ‘’Namun, kami sudah menyiapkan rencana agar Ana bisa berwirausaha, apalagi dia punya keahlian mengggambar,’’ ungkap Danik.

Gerakan kemanusiaan para sahabatnya untuk menyelamatkan Ana dari jalanan, sudah berhasil. Saat ini, proses pemulihan jiwanya tengah dilakukan.  Di negeri ini, masih banyak Ana-Ana lain yang telantar, menggelandang dan berkeliaran di jalanan.  Gerakan Peduli Ana, menjadi gerakan kecil yang sangat bermakna besar untuk menyelamatkan  anak manusia yang hilang, sekaligus memulihkan jiwanya dari derita luka batin dan akar kepahitan yang panjang.