Sempat Terhenti Karena Pandemi, Program Anak Semarang Damai Kembali Digelar

Program Anak Semarang Damai (Semai) kembali digelar setelah sempat terhenti karena adanya pandemi Covid-19. 


Semai yang ketiga ini diadakan di Vihara Tanah Putih, Kecamatan Candisari dan diikuti hampir 50 anak usia 10-12 tahun dnegan berlatar belakang Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, Konghucu, juga penghayat kepercayaan. Asal usul sekolahnya pun berbeda-beda. 

Semai sendiri adalah sebuah program yang digagas khusus untuk anak usia SD yang sudah memasuki masa pra-remaja. 

Di tahun 2018 dan 2019, Semai sudah pernah dilaksanakan di Klenteng Tay Kak Sie dan Pura Agung Giri Natha. Kegiatan ini terhenti selama masa pandemi COVID-19.

“Syukurlah akhirnya Semai kembali bisa terlaksana tahun ini, dan bertepatan juga dengan momen Hari Pahlawan. Kita doakan anak-anak ini nantinya menjadi para penabur benih perdamaian dan cinta kasih,” kata Ketua IKHRAR Rayon Semarang, Heri Irianto, Minggu (13/11).

“Jangan remehkan anak-anak yang masih kecil ini. Mereka kelak akan tumbuh jadi pemimpin-pemimpin masyarakat. Itu sebabnya dari sekarang mari kita beri mereka bekal wawasan dan pengalaman hidup berdampingan dalam keberagaman,” lanjutnya.  

Seperti dalam program Semai terdahulu, anak-anak peserta diajak mengunjungi kelompok religius yang sering dilabeli sebagai ‘minoritas’. 

"Materinya mendalam, tapi cara belajarnya dibuat interaktif, seru, dan akrab. Belajar keberagamannya ganda. Di satu sisi, mereka berinteraksi dengan sesama anak dari latar belakang beragam, di sisi lain mereka belajar memahami dan menghargai tradisi religius tempat ibadah yang mereka kunjungi,” ucap Ellen Nugroho selaku direktur eksekutif EIN Institute. 

Keakraban antar anak peserta Semai #3 sudah terjalin sejak awal. Meski awalnya tidak saling kenal, setelah acara perkenalan dan main bersama, rasa asing pun mencair. 

Selanjutnya, mereka diajak berdiskusi dengan Bhikkhu Dhirasarano tentang sifat-sifat luhur yang diajarkan Sang Buddha, yakni metta (cinta kasih universal), karuna (welas asih), mudita  (simpati) dan upekkha (keseimbangan batin). 

Anak-anak diminta untuk berbagi tentang ajaran sifat luhur yang ada di agama atau kepercayaan masing-masing dan cara mempraktikkannya. 

Bagian paling mengharukan dari Semai #3 adalah ketika anak-anak lintas agama dan kepercayaan ini melakukan pentas kolaborasi perjalanan hidup Sang Buddha. 

Mereka berlatih secara spontan di tempat dan langsung memainkan empat babak fragmen, mulai dari kelahiran Pangeran Sidharta, kegelisahan yang membuatnya meninggalkan istana,  pergulatannya sampai mencapai Penerangan Sempurna, dan prosesnya menyebarkan agama Buddha hingga wafat (parinibbana).

Setelah itu, anak-anak berkeliling vihara untuk melakukan pengamatan terhadap simbol-simbol religius agama Buddha dan memahami maknanya. 

Pengamatan dilanjutkan ke dalam ruang ibadah di vihara, yakni Dhammasala. Di sana, anak-anak yang beragama Buddha memperagakan kepada kawan-kawannya tata cara beribadah agama Buddha. 

Saat sesi penutupan, Bhikkhu Dhirasarano berpesan kepada para peserta Semai #3 agar terus menumbuhkan sikap saling menghargai dan menghormati di tengah perbedaan. 

“Berbeda tidak harus jadi alasan untuk bertengkar ya. Justru kalau berjumpa dengan teman yang berbeda, kalian mendapat kesempatan untuk melatih sikap luhur cinta kasih,” ungkapnya. 

Semai #3 diselenggarakan oleh EIN Institute, Ikatan Karya Hidup Rohani Antar Religius (IKHRAR) dan Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) dan didukung oleh Marimas. 

Koordinator Pelita Setyawan Budy menggarisbawahi betapa pentingnya warga Semarang merawat perdamaian dan kebhinekaan, khususnya menjelang Pemilu 2024. 

“Tahun depan suasananya sudah akan makin panas, dan politik identitas masih potensial digunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Jadi kita bersama jaga Semarang, kota kita tercinta ini, agar relasi antar umat tetap damai dan harmonis,” pungkasnya.