Terdapat Dissenting Opinion Dalam Kelanjutan Perkara Bos Ortus Holding

Hakim anggota Joko Subagyo berpendapat dakwaan jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus) terhadap Direktur Ortus Holding Ltd, Edward Seky Soeryadjaya seharusnya batal demi hukum.


Perbedaan pendapat atau dissenting opinion ini diucapkan Joko saat membacakan putusan sela sidang perkara dugaan korupsi pengelolaan dana pensiun PT Pertamina (Persero) di PT Sugih Energy Tbk (SUGI) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (6/6).

Dalam pertimbangan hukumnya Joko sependapat dengan dalil terdakwa dan tim kuasa hukum yang menyatakan putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) telah menetapkan status tersangka Edward Soeryadjaya dan surat perintah penyidikan (sprindik) penetapan tersangka tidak sah.

Meski terdapat dissenting opinion, namun Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta tetap melanjutkan sidang perkara karena empat hakim lainnya menyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum adalah sah dan sesuai dengan Pasal 143 Ayat (2) huruf a dan b KUHAP.

"Memerintahkan pemeriksaan perkara ini dilanjutkan. Menangguhkan biaya perkara ini sampai dengan putusan akhir," kata Ketua Majelis Hakim  Sunarso saat membacakan putusan sela seperti dikutip Kantor Berita Politik RMOL

Di kesempatan yang berbeda Kuasa hukum Edward Soeryadjaya, Bambang Hartono, mengaku kecewa dengan keputusan tetap melanjutkan perkara kliennya.

Menurutnya putusan majelis hakim ini tidak adil, selain itu  pertimbangan putusan yang dibacakan Hakim Sunarso tidak diuraikan secara rinci.

"Dan putusan yang benar itu menurut saya adalah hakim ad hoc Pak Joko, dia merinci, jadi kapan diajukan praperadilan, kapan diputuskan, kapan berkas perkara dinaikkan," ujarnya.

Poin yang paling telak menurut Bambang, adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 102 Tahun 2016, yang menyatakan proses praperadilan gugur jika dakwaan sudah dibacakan pertama kalinya. Padahal, dalam kasus Edward, putusan praperadilan di PN Jaksel diketok pada 23 April 2018, jauh sebelum dakwaan dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 16 Mei 2018.

"Ya kalau menurut saya, putusan praperadilan sama-sama merupakan putusan undang-undang yang harus dijalankan siapapun, termasuk oleh pengadilan. Nah, saya hanya meminta satu keadilan saja, kenapa satu putusan ini kok aneh," ujarnya.

Atas kejanggalan ini, tim kuasa hukum akan mengirimkan surat kepada pihak berwenang, diantaranya Mahkamah Agung (MA) untuk mengkaji putusan majelis hakim. Sebab putusan praperadilan adalah salah satu putusan yang harus dihormati dan dijalankan oleh siapapun.

"Kita akan banding, tapi nanti dengan putusan pokok perkara. Kan di dalam satu tanggapan jaksa juga memberikan contoh ada putusan pak Bachtiar Abdul Fatah, itu juga [yang nyidik] Kejagung, bahwa keputusan praperadilan itu dimenangkan tahun 2012, sebelum ada putusan MK 102, itu jalan kasusnya. Itu bisa dimaklumi, tapi di PK diputus bebas," katanya.

Kuasa hukum Edward lainnya, Radhie Noviadi Yusuf, menegaskan, putusan sela ini menjadi sejarah baru dalam program nawacita hukum di era Presiden Jokowi.

"Baru kali ini pengadilan memeriksa dan mengadili warga negara yang tidak pernah ditetapkan menjadi tersangka," ujar Radhie.

Edward didakwa melakukan tindak pidana korupsi atas pengelolaan dana pensiun PT Pertamina (Persero) senilai Rp1,4 trilyun di PT SUGI. Perbuatan Edward dan kawan-kawan itu diduga merugikan keuangan negara sejumlah Rp599 milyar.