Turki Catat Inflasi Tertinggi Capai 61 Persen

Turki mencatatkan inflasi konsumen tahunan tertinggi dalam 20 tahun, yaitu mencapai 61,14 persen pada Maret.


Data Institut Statistik Turki yang dikutip Ahval News pada Senin (4/4) menunjukkan, tingkat inflasi utama naik dari 54,4 persen pada Februari.

Inflasi Turki telah melonjak setelah bank sentral memangkas suku bunga akhir tahun lalu atas perintah Presiden Recep Tayyip Erdogan, meskipun tekanan harga meningkat.

Bank menurunkan suku bunga acuannya dari 19 persen menjadi 14 persen antara September dan Desember, yang berarti suku bunga, setelah dikurangi inflasi, sekarang berada di minus 40 persen.

Lonjakan inflasi juga didorong oleh kenaikan harga energi dan komoditas, menyusul konflik Rusia dan Ukraina yang memperparah dampak jatuhnya lira akhir tahun lalu.

Erdogan telah menahan diri untuk tidak menaikkan suku bunga walaupun ada lonjakan harga energi global yang dipicu oleh perang di Ukraina.

"Kebijakan bank sentral tidak bekerja dalam melawan inflasi. Memang, saya pikir konsensus yang luar biasa adalah bahwa pengaturan kebijakan bank sentral yang tidak ortodoks adalah penyebab utama inflasi," ujar ahli di BlueBay Asset Management, Tim Ash.

“Perang di Ukraina hanya memperburuk keadaan," tambahnya.

Data juga menunjukkan, inflasi harga produsen meningkat menjadi 115 persen dari 105 persen.

Kebijakan bank sentral Turki juga menyebabkan kerugian tajam bagi lira, yang mengakibatkan krisis mata uang akhir tahun lalu. Lira kehilangan 44 persen nilainya terhadap dolar pada tahun 2021. Lira telah turun 10 persen lagi tahun ini.

Inflasi di Turki adalah yang tertinggi di pasar negara berkembang utama, melampaui Argentina yang dilanda krisis, harga naik pada 52,3 persen tahunan.

Suku bunga acuan di Argentina, yang telah menyetujui program penyelamatan Dana Moneter Internasional (IMF) senilai $44 miliar, mencapai 44,5 persen, setara dengan sekitar 55 persen secara tahunan efektif.

Lira diperdagangkan turun 0,1 persen pada 14,7 per dolar di Istanbul pada Senin.

Bank sentral dan bank-bank yang dikelola negara telah menjual puluhan miliar dolar cadangan devisa untuk mempertahankan lira sejak puncak krisis pada Desember, demikian dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL.