Wacana Pencopotan Gibran: Anak Haram Konstitusi

Ilustrasi Wacana Pencopotan Gibran. Khairul A El Maliky
Ilustrasi Wacana Pencopotan Gibran. Khairul A El Maliky

Negeri ini tengah berdiri di ujung jalan yang becek dan retak, dibayang-bayangi reruntuhan nilai-nilai demokrasi yang dulu dibangun dengan air mata, darah, dan harapan pascareformasi. Di titik ini, kita dipaksa menyaksikan seorang anak muda yang naik ke singgasana kekuasaan bukan karena prestasi, bukan karena integritas, bukan pula karena keinginan rakyat yang murni - melainkan karena cawe-cawe kekuasaan yang dipaksakan. Ia adalah Gibran Rakabuming Raka, wakil presiden terpilih yang hingga kini masih menyisakan luka konstitusi di dada banyak orang. Ia adalah anak haram konstitusi.

Bukan karena ia anak presiden, melainkan karena caranya menduduki tahta. Di ruang demokrasi yang mestinya suci, kehadirannya mencederai kesakralan hukum dan mencoret-coret wajah konstitusi dengan spidol oligarki. 

Babak Awal Kekacauan, Putusan MK yang Pincang

Kita tidak bisa membicarakan Gibran tanpa menyentuh Mahkamah Konstitusi. Seperti dalam tragedi Yunani, inilah awal kutukan itu bermula. MK mengubah ketentuan batas usia calon presiden dan wakil presiden melalui sebuah putusan yang mengundang gelombang protes, sorak-sorai sinis, dan tanda tanya besar dari para akademisi, mahasiswa, hingga aktivis hukum tata negara.

Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah palu yang memecahkan kaca konstitusi. Dalam putusan itu, Mahkamah seolah menciptakan lorong ajaib yang secara ajaib hanya muat dilewati oleh satu orang: Gibran.

Apa motifnya? Siapa yang mengatur panggungnya? Semua orang tahu, tapi banyak yang memilih menutup mata. Atau menutup mulut karena takut kehilangan jabatan.

Putusan tersebut bukan hanya menjadi noda hukum, melainkan juga preseden buruk bagi masa depan demokrasi. Ia menjadi pengkhianatan terhadap semangat reformasi dan bentuk konkret dari penyalahgunaan kekuasaan yudikatif demi kepentingan politik keluarga.

Demi Ayah, Negara Dikorbankan

Ketika Jokowi memilih menjadi ayah bagi kekuasaan daripada ayah bagi demokrasi, saat itulah negara ini kehilangan arah. Demi menyiapkan jalan untuk sang putra, segala rambu dilanggar. Netralitas diabaikan, mekanisme hukum dimanipulasi, dan institusi-institusi pengawas demokrasi dikebiri perannya.

Netralitas Presiden dipertanyakan, dan bukan oleh satu dua orang, melainkan oleh publik luas yang menyaksikan bagaimana Gibran bisa maju dalam pilpres secara instan seperti mie gelas - cepat, instan, dan penuh MSG kekuasaan. Tak ada proses politik yang sehat. Tak ada meritokrasi. Yang ada hanyalah jalan tol karpet merah yang dibuka langsung dari istana.

Seorang akademisi menyebutnya sebagai ‘nepotisme dengan senyum demokratis’. Kemenangan Gibran bukan kemenangan rakyat. Itu adalah kemenangan dinasti. Dan ketika dinasti berkuasa, demokrasi dikubur hidup-hidup sambil dinyanyikan lagu Indonesia Raya.

Hukum Dan Konstitusi, Anak Tiri Di Tanah Sendiri

Konstitusi, yang semestinya menjadi panglima, kini diperlakukan seperti anak tiri. Hukum ditafsirkan bukan untuk keadilan, melainkan untuk kepentingan kekuasaan. Mahkamah Konstitusi, yang dulu jadi harapan terakhir dalam menegakkan prinsip-prinsip konstitusionalisme, justru menjadi instrumen utama dalam melegalkan penyimpangan.

Ketika hukum tidak lagi melindungi yang lemah, melainkan memihak pada yang kuat, maka hukum bukan lagi hukum. Ia berubah menjadi alat, palu politik, dan pagar betis kekuasaan.

Gibran adalah hasil dari proses itu - hasil dari hukum yang diperkosa oleh para pengadilnya sendiri. Maka wajar jika publik hari ini menyoal keabsahan moral dan etis dari posisi Gibran. Bukan soal sah secara administratif, tapi soal legitimasi yang lahir dari rahim rekayasa.

Wacana Pencopotan, Jalan Terjal Tapi Penuh Harap

Kini wacana pencopotan Gibran mulai bergema. Isu ini bukan sekadar bisik-bisik warung kopi, tetapi telah masuk ke dalam forum-forum hukum, akademisi, hingga diskusi parlemen. Ada suara-suara yang mulai berani mengatakan: “Jika prosesnya cacat, maka hasilnya cacat pula.”

Namun, pertanyaan besarnya adalah: mungkinkah Gibran dicopot? 

Secara konstitusional, proses pencopotan wakil presiden diatur dalam Pasal 7B UUD 1945. Diperlukan usulan DPR dan pemeriksaan Mahkamah Konstitusi jika terjadi pelanggaran hukum berat seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, atau tindak pidana berat lainnya. Namun dalam kasus Gibran, celahnya ada pada putusan yang melanggar etika hukum dan asas keadilan. Inilah wilayah yang masih abu-abu secara formal, tapi terang benderang secara etika.

Jika sistem hukum kita cukup progresif dan berani, maka pencopotan Gibran bisa dijadikan momentum koreksi total terhadap segala bentuk penyimpangan konstitusi. Namun jika sistem ini tetap konservatif dan pengecut, maka wacana ini hanya akan menjadi angin lalu.

Legitimasi Dan Kepemimpinan Yang Tidak Sahih 

Ada sebuah konsep penting dalam ilmu politik: legitimasi. Kekuasaan tanpa legitimasi bukan kekuasaan, melainkan penjajahan. Gibran boleh memenangkan pilpres secara administratif, tapi secara moral ia telah kehilangan legitimasi. Ia lahir dari rahim konstitusi yang dipaksa caesar oleh ayahnya sendiri.

Maka ketika publik menyebutnya “anak haram konstitusi”, itu bukan penghinaan personal, melainkan bentuk kritik mendalam terhadap cara kekuasaan dijalankan. Ia lahir bukan dari kehendak rakyat, tapi dari rekayasa konstitusional.

Dan kepemimpinan yang lahir dari rekayasa tidak akan pernah mendapatkan kepercayaan penuh dari rakyat. Ia akan selalu dibayang-bayangi oleh tudingan, cibiran, dan resistensi sosial yang tak kunjung padam.

Etika Kekuasaan Dan Dosa Sejarah

Dalam sejarah, pemimpin yang naik dengan cara curang hampir selalu menemui akhir yang buruk. Lihat saja Ferdinand Marcos, lihat Soeharto, bahkan lihat Joseph Estrada. Kekuasaan yang dibangun dari fondasi kebohongan dan nepotisme akan runtuh oleh gelombang kebenaran.

Etika kekuasaan tidak pernah berubah: pemimpin harus mendapat mandat murni dari rakyat, bukan dari mahkamah yang dikendalikan. Jika Gibran tetap bertahan tanpa proses klarifikasi dan tanpa rekonsiliasi moral, maka ia akan menanggung beban dosa sejarah itu. Dan rakyat tidak akan lupa.

Narasi Publik, Melawan Lupa, Melawan Luka

Narasi publik hari ini sedang tumbuh. Media sosial, diskusi kampus, hingga forum-forum warung kopi mulai membentuk kesadaran kolektif bahwa demokrasi kita sedang disandera. Kesadaran ini tidak bisa dipadamkan begitu saja. Ia seperti api kecil di tengah tumpukan jerami. Cepat atau lambat, ia akan membakar ketidakadilan.

Maka wacana pencopotan Gibran bukan semata-mata soal jabatan, tetapi soal pemulihan martabat demokrasi. Ini adalah perlawanan terhadap sistem yang sudah terlalu nyaman mengangkangi keadilan. 

Mencopot Gibran Adalah Menghormati Konstitusi

Jika negara ini ingin diselamatkan dari jurang dinasti dan kehancuran hukum, maka pencopotan Gibran harus menjadi wacana yang serius. Bukan soal suka atau tidak suka pada sosoknya, tetapi soal memperbaiki kerusakan fundamental dalam tubuh demokrasi kita.

Jika konstitusi masih dianggap suci, maka anak haram konstitusi tidak boleh dibiarkan duduk di singgasana wakil rakyat.

Negeri ini terlalu mahal untuk diserahkan kepada pewaris kekuasaan yang lahir dari cawe-cawe politik. Sudah cukup negeri ini menjadi panggung sandiwara, sudah cukup hukum dijadikan boneka. Kini saatnya bicara lantang: demokrasi harus ditegakkan, dan Gibran harus ditinjau ulang.

Bukan karena dendam, tapi karena keadilan. Bukan karena benci, tapi karena cinta pada negeri ini.

*) Khairul A. El Maliky, pengarang novel, pemerhati sosial dan budaya, esais, dan cerpenis yang telah menulis banyak tulisan di media sosial. Bukunya yang telah terbit berjudul: Akad, Kalam Kalam Cinta dan Pintu Tauhid (2024), Sweet Girl dan Cinta Tapi Beda (2025), Kitab Mengenal Diri yang Sebenarnya Diri dan Gus Dur dan Tuhanpun Tertawa (Segera) yang diterbitkan oleh MNC Publishing.