- Mewaspadai Distorsi Sejarah Oleh Klan Ba'alawi: Perspektif Kritis Dan Edukatif
- Pemerintah, Seriuslah Atasi Permasalahan Truk Kelebihan Dimensi Dan Muatan!
- Supremasi Pendidikan: Reaktualisasi Paradigma Mendidik Dalam Masyarakat Modern
Baca Juga
Konflik udara India–Pakistan pada Mei 2025 memperlihatkan lebih dari sekadar bentrokan regional. Ia membuka tabir rivalitas teknologi, pergeseran geopolitik, dan kekuatan narasi. Dua tokoh berprofil tinggi - sejarawan perang udara asal Austria, Tom Cooper, dan Presiden AS, Donald Trump - menyampaikan tafsir atas konflik ini melalui lensa yang jelas memuat bias. Interpretasi mereka tidak hanya memberi wawasan atas konflik tersebut, tetapi juga mengungkap pertarungan persepsi, arsitektur kekuatan lunak (soft power), dan kelanjutan logika imperialisme dalam wujud baru.
Cooper memuji tindakan India - khususnya serangan presisi terhadap fasilitas penyimpanan nuklir Pakistan - sebagai ‘kemenangan mutlak’. Berakar pada doktrin dominasi strategis ala Barat, analisisnya berfokus pada penguasaan wilayah udara dan kerusakan yang ditimbulkan.
Namun, sudut pandangnya mengabaikan kompleksitas di lapangan: Pakistan dilaporkan berhasil menembak jatuh beberapa jet tempur India, termasuk Rafale, MiG-29, dan Su-30. Penilaian Cooper juga menutup mata terhadap dampak kemanusiaan serta risiko eskalasi nuklir yang parah. Dengan mereduksi perang menjadi soal keunggulan teknologi, ia menyingkirkan volatilitas kawasan dan biaya kemanusiaan konflik.
Keterlepasan analisis ini bukan semata metode - ia mencerminkan pola pikir dunia lama yang dikemas dalam bahasa modern. Ketergantungan Cooper pada paradigma militer Eurosentris mencerminkan bagaimana narasi imperial dulu membenarkan dominasi atas dasar superioritas peradaban. Kini, dorongan serupa muncul dalam bentuk metrik dominasi udara, yaitu rasio pembunuhan, dan klaim objektivitas sains militer Barat. Di balik permukaan opininya, tersembunyi sikap imperial: keyakinan bahwa konflik non-Barat bisa dan seharusnya ditafsirkan melalui lensa Barat, tanpa banyak pertimbangan atas konteks lokal dan dampaknya.
Sementara itu, reaksi Donald Trump atas konflik ini dibingkai dalam citra AS sebagai mediator global yang baik hati. Ia dengan cepat memposisikan dirinya sebagai arsitek perdamaian, mengklaim telah mencegah eskalasi menuju perang nuklir. Dengan melakukan ini, ia menguatkan trope tentang keniscayaan Amerika - gema dari ideologi Pax Americana. Namun, narasi ini dengan nyaman mengabaikan peran pemimpin India dan Pakistan, upaya diplomatik negara-negara Teluk, dan pengaruh tenang namun konsisten dari Tiongkok. Narasi ini menggambarkan Global South sebagai kumpulan aktor emosional yang membutuhkan intervensi paternalistik dari Global North.
Imperialisme lunak ala Trump tidak bergantung pada pendudukan, melainkan melalui dominasi ruang naratif. Pernyataannya bukan tentang perdamaian - tetapi tentang menegaskan kembali sentralitas Amerika dalam segala urusan dunia. Inilah wajah baru imperialisme: bukan teritorial, melainkan epistemik dan psikologis. Perdamaian yang diklaim adalah perdamaian yang dimiliki, dan melalui itu, dimana hierarki geopolitik dipertahankan.
Melampaui opini bias para komentator ini, konflik tersebut mengungkap fenomena yang lebih dalam: munculnya paritas teknologi militer antara Timur dan Barat. Ini paling terlihat dalam pertempuran udara, ketika Pakistan menggunakan rudal PL-15 buatan Tiongkok yang mengguncang asumsi lama. PL-15, dengan pencari radar aktif AESA, motor pulsa ganda, kecepatan Mach 5, dan jangkauan lebih dari 200 km di luar garis pandang visual, diintegrasikan pada jet JF-17 Block III dan J-10C. Platform ini, didukung oleh struktur komando berbasis jaringan, menjadikan Pakistan kekuatan yang tangguh meskipun persenjataannya lebih kecil.
Tulisan sebelumnya tentang Rafale dapat dibaca pada tautan berikut:
Rontoknya Empat Rafale India: Urgensi Strategis Indonesia Dalam Pertahanan Udara
India, yang didukung oleh pemasok Barat seperti Prancis dan AS, mengandalkan Rafale dan rudal Meteor. Namun PL-15 menantang dominasi tersebut. Dalam beberapa parameter kinerja - jangkauan, resistensi radar, dan keandalan - rudal buatan Tiongkok ini bahkan bisa dikatakan melampaui padanannya dari Barat. Ini memaksa pilot India untuk mengevaluasi ulang strategi pertempuran, menjadi salah satu momen langka di mana keunggulan Barat dalam BVR (Beyond Visual Range) terbuka untuk dipertanyakan dan dalam beberapa kasus, dinetralkan.
Keberhasilan Pakistan bukan hanya karena peralatan. Mereka menunjukkan penguasaan dalam perang elektronik, pengacakan sinyal, dan pertahanan udara terpadu. Pod pengacak radar, koordinasi waktu nyata, dan taktik penolakan layanan berhasil mengacaukan rantai komunikasi India. Militer Pakistan menunjukkan bahwa koherensi taktis dan perang informasi - bukan sekadar kualitas perangkat keras - merupakan penentu utama. Hal ini membuktikan bahwa inovasi teknologi bukanlah monopoli negara-negara kaya; integrasi strategis sama pentingnya, jika tidak lebih.
Konflik 2025 juga merupakan benturan antara ekosistem militer. Ketergantungan India pada perangkat keras Barat mencerminkan ketergantungan strategis yang lebih dalam, yang menimbulkan pertanyaan tentang otonomi jangka panjangnya. Pakistan, yang dibatasi oleh sanksi dan embargo, beralih ke Timur. Sistem Tiongkok dan Turki memungkinkan Pakistan membentuk postur yang lebih berdaulat. Efektivitas sistem ini - terutama rudal PL-15 - mengubah persepsi. Teknologi Timur tak lagi bisa dianggap inferior atau sekadar hasil tiruan.
Narasi Cooper dan Trump dengan demikian menjadi perpanjangan dari pemikiran industri militer Barat, tetapi yang lebih penting, mereka mewakili imperialisme yang menyamar sebagai analisis ahli dan niat baik diplomatik. Cooper mempromosikan pandangan dominasi udara yang berpusat pada Barat, sementara Trump menggunakan resolusi konflik untuk memperkuat pengecualian Amerika. Keduanya mengukuhkan kerangka ideologis kekuatan lunak Barat. Mereka mereduksi dinamika regional yang kompleks menjadi kisah-kisah sederhana yang memusatkan aktor Barat dan meminggirkan semua yang lain.
Namun, mereka melewatkan arus bawah yang lebih dalam bahwa hierarki militer global sedang dikalibrasi ulang - dengan cepat dan tak dapat dibalikkan.
Rekalibrasi ini memiliki implikasi di luar Asia Selatan. Bagi negara seperti Indonesia, konflik 2025 menawarkan pelajaran penting.
- Pertama, ia menegaskan perlunya sistem pertahanan udara terpadu yang berdaulat. Perang berbasis jaringan, bukan sekadar kekuatan tembakan, kini menjadi inti dari keunggulan udara. Indonesia harus melampaui sekadar pembelian perangkat keras dan membangun arsitektur komando yang aman, adaptif, serta kapabilitas riset pertahanan dalam negeri.
- Ke dua, perang ini menyoroti bagaimana informasi dijadikan senjata. Narasi yang bias dapat membentuk persepsi global, mempengaruhi diplomasi, bahkan berdampak pada pendanaan pertahanan. Agar Indonesia menjaga kejernihan strategis, ia harus membina analis pertahanan dan platform media sendiri yang mampu menafsirkan peristiwa global tanpa menjadi tawanan ruang gema Barat maupun Timur.
- Ke tiga, kinerja PL-15 membuktikan bahwa paritas teknologi tidak lagi ditentukan oleh Barat saja. Indonesia sebaiknya mendiversifikasi mitra pertahanannya, sekaligus berinvestasi dalam riset dan pengembangan domestik. Perangkat perang elektronik, deteksi ancaman berbasis AI, dan platform tahan-siber harus menjadi prioritas nasional. Kebijakan pengadaan yang seimbang—melibatkan pemasok Timur dan Barat - dapat melayani otonomi strategis tanpa ketergantungan berlebih maupun kerentanan geopolitik.
- Terakhir, konflik ini bukan hanya soal jet dan rudal, tetapi tentang perangkat lunak, sinyal, dan narasi.
Perang hari ini berlangsung di udara dan ruang siber, tetapi juga dalam benak publik dan pengamat internasional. Kekuatan suatu bangsa tidak hanya terletak pada kemampuannya mencegat pesawat musuh, tetapi juga dalam mencegat narasi menyesatkan dan menguasai komunikasi strategisnya sendiri.
Indonesia, yang baru saja menandatangani kesepakatan pembelian 42 sistem Rafale, harus melihat tantangan yang ada secara jelas. Untuk menjamin pertahanan nasional di dunia multipolar, Indonesia harus membangun kapabilitas dalam lima pilar kritis: ketangguhan perangkat keras, perang elektronik, kesiapan siber, pengendalian narasi, dan diplomasi pertahanan.
Pertempuran demi kedaulatan kini mencakup ranah kinetik, digital, dan simbolik.
Konflik India–Pakistan 2025, yang diperbesar oleh komentar bias dan rivalitas teknologi yang senyap, telah membuka jendela menuju masa depan peperangan. Meskipun para komentator Barat mungkin terus mengklaim kendali atas narasi global, peristiwa di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Teknologi Timur telah bangkit, aktor regional telah menyatakan eksistensinya, dan hasil strategis tidak lagi ditentukan hanya oleh buku pedoman Barat.
Indonesia harus menarik pelajaran dari realitas ini dan menentukan jalannya sendiri—yang berakar pada kemandirian teknologi, literasi media kritis, dan postur pertahanan yang mencerminkan ancaman modern sekaligus nilai-nilai nasional.
Imperialisme hari ini tidak lagi berbaris dengan bendera dan armada. Ia berbicara melalui analis dan para presiden, dan ia mengklaim otoritas moral di mana sebenarnya hanya ada kepentingan strategis.
*) Tommy Tamtomo, Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI)
- Satgas Samapta Intensif Laksanakan Patroli Presisi, Ciptakan Kondisi Kondusif Di Wilayah Boyolali
- Para Senior Blora: Waspadai Fenomena Baru Yang Memicu Runtuhnya Kerukunan
- Komitmen Bersih Dari Narkoba, 23 Personel Polres Boyolali Jalani Tes Urine