Yasonna: Perjanjian Ekstradisi Harus Diratifikasi agar Koruptor Tak Sembunyi Lagi di Singapura

Menkumham Yasonna Laoly.
Menkumham Yasonna Laoly.

Pemerintah terus berkomunikasi dengan DPR RI agar proses ratifikasi perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura dapat segera diselesaikan.


Menteri Hukum dan HAM RI, Yasonna Laoly mengatakan, perjanjian tersebut penting dalam proses penegakan hukum, khususnya terkait pengejaran pelaku tindak pidana antarnegara.

“Perlu dipahami bahwa selama ini, upaya memulangkan pelaku tindak pidana yang melarikan diri ke Singapura maupun transit di Singapura, kandas karena tidak adanya perjanjian bilateral,” kata Yasonna dalam keterangan tertulisnya, Rabu (2/1).

Perjanjian ekstradisi pada pokoknya adalah perjanjian yang mengatur tata cara penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu tindak pidana oleh suatu negara, kepada negara yang meminta penyerahan.

Bentuk kejahatan yang disepakati untuk dapat dijadikan dasar ekstradisi juga diatur dalam perjanjian tersebut. Sesuai hasil kesepakatan, Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura mencakup 31 tindak pidana, antara lain tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme, serta korupsi.

Tidak hanya itu, perjanjian ini juga bersifat dinamis karena kedua negara sepakat untuk menggunakan prinsip open ended dalam menentukan jenis tindak pidana yang dapat diekstradisi.

Hal ini merupakan upaya untuk mengantisipasi kejahatan lainnya di masa mendatang yang disepakati kedua pihak, sehingga mekanisme ekstradisi dapat tetap dilaksanakan.

Selain itu, dengan memanfaatkan ketentuan retroaktif yang diperpanjang menjadi 18 tahun, ekstradisi masih dapat dimohonkan untuk mereka yang melakukan tindak pidana tersebut di masa lampau.

“Jika perjanjian ekstradisi ini selesai diratifikasi dan disahkan dengan undang-undang, penegak hukum dapat langsung memanfaatkan mekanisme ini untuk mengejar pelaku tindak pidana," pungkasnya.