Alokasi Subsidi Pupuk yang Mampu Mendukung Kedaulatan Pangan, Perlu Ditinjau Kembali

Distribusi pupuk bersubsidi sering menimbulkan permasalahan bagi petani di Tanah Air.


Isu ini menjadi sangat krusial karena beberapa alasan, yakni selalu berulangnya kasus kelangkaan pupuk yang dikeluhkan petani, kenaikan harga pangan akhir-akhir ini terutama beras, dan perkembangan kondisi pertanian dan pangan global yang ditandai dengan gangguan produksi pangan, restriksi ekspor dari negara-negara penghasil pangan, serta subsidi pertanian terselubung negara-negara besar untuk melindungi petaninya.

Demikian hal yang mengemuka dari Foccus Group Discussion (FGD) bertajuk Perbaikan Distribusi Pupuk: Perspektif Pelaku Usaha Pertanian dan Peran Serta Pemerintah Daerah, yang digelar Nagara Institute, Rabu (20/12).

Diskusi diikuti para pemangku kepentingan terkait seperti Dinas Pertanian Jawa Tengah, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Tengah, Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah, Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC), maupun akademis dan praktisi.

Diskusi bertujuan menyerap masukan tentang . Dalam konteks ekonomi politik Indonesia, isu ini juga telah mengemuka pada debat perdana calon presiden peserta Pilpres 2024 pada 12 Desember lalu.

"Pemerintahan baru yang akan terbentuk pada 2024 mendatang harus memberi solusi atas permasalahan distribusi pupuk untuk mendukung kedaulatan pangan dan menjamin pencapaian Indonesia Emas 2045," ujar Direktur Eksekutif Nagara Institute Akbar Faizal.

Peneliti Nagara Institute dari Universitas Indonesia Dr. M.D. Revindo mengatakan, temuan awal Tim Peneliti Nagara Institute mengidentifikasi beberapa permasalahan kunci dalam distribusi pupuk nasional, yakni terus berkurangnya subsidi pupuk dari Rp34,3 triliun pada 2019 menjadi hanya Rp24 triliun pada 2023. 

"Selain itu,  Ketidaktepatan waktu penyediaan di tingkat distributor, gudang atau kios pengecer pupuk bersubsidi di wilayah kecamatan dan/atau desa. Selanjutnya,  adanya ketidaksesuaian komposisi pupuk majemuk dengan kondisi lahan setempat. Kehandalan data, meliputi validitas dan reabilitas data spasial lahan petani dan kesesuaian usulan alokasi pupuk dari kecamatan," papar Revindo. 

Akbar Faisal menegaskan, dalam menghadapi krisis pangan global yang sedang terjadi, penting bagi Indonesia untuk memiliki tingkat ketahanan pangan yang kuat. 

"Untuk mencapai itu, pupuk merupakan salah satu komoditas inti dalam tercapainya ketersediaan pangan nasional yang baik. Sinergi seluruh pemangku kepentingan menjadi hal yang penting agar ketahanan pangan nasional kita menjadi kuat dan siap menghadapi tantangan pangan global,”tegas Akbar. 

Dari diskusi yang menghangat dengan seluruh narasumber dan pemangku kepentingan yang hadir, mengemuka beberapa poin utama yang dapat menjadi masukan untuk upaya perbaikan, yaitu perlunya peninjauan kembali alokasi subsidi pupuk yang mampu mendukung kedaulatan pangan. Selain itu, perlu perbaikan data calon penerima dan calon lokasi (CPCL) serta penyempurnaan sistem elektronik rencana definitif kebutuhan kelompok (e-RDKK).

Perlu ada perbaikan regulasi pada tingkat yang lebih tinggi mengenai pupuk bersubsidi untuk menyinkronkan berbagai pemangku kepentingan, yang saat ini hanya diatur oleh Permentan Nomor 10 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan HET Pupuk bersubsidi Sektor Pertanian, dan Permendag No.04 Tahun 2023 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian.

Kemudian, peningkatan efisiensi, kapabilitas dan skala ekonomi gudang dan kios pengecer pupuk bersubsidi. 

Perlu adanya perbaikan teknis produksi pupuk agar pupuk yang memiliki volume tinggi tidak cepat menggumpal/mengeras untuk menurunkan resiko dan biaya distribusi dan penyimpanan.

Menggencarkan edukasi pada petani untuk mengurangi ketergantungan pada pupuk tunggal/kimia menuju pupuk majemuk/organik serta mengurangi penggunaan pupuk yang berlebihan.

Dari diskusi juga muncul aspirasi yang kuat bahwa kebijakan pupuk seharusnya tidak terpisah dari strategi besar penguatan pertanian dan kedaulatan pangan. Oleh karena itu, diperlukan komitmen yang lebih kuat dari pemerintah untuk memperkuat kedaulatan pangan yang bukan hanya berbasis pada pangan murah, tetapi lebih kepada pembangunan kesehatan manusia dan kesejahteraan petani.

Karena itu, kebijakan subsidi pupuk juga harus diikuti oleh penguatan input pertanian pangan lainnya. Dalam hal kualitas tenaga kerja pertanian, diperlukan upaya menarik generasi muda untuk terjun ke sektor jasa produksi dan jasa pendukung pertanian, serta penguatan tenaga penyuluh dan pendamping. 

Dalam hal lahan, diperlukan ketegasan atas penerapan rencana tata ruang wilayah (RTRW) untuk menjaga lahan produktif, melengkapi program sertifikasi tanah yang diluncurkan pemerintah dengan literasi keuangan, serta mengembangkan sistem pertanian kolektif untuk wilayah dengan kepemilikan lahan yang kecil.

Demikian pula diperlukan penguatan atas produksi obat-obatan, alat dan mesin pertanian dan benih unggul.

Hasil kajian ini diharapkan akan menjadi masukan yang solutif dan implementatif bagi pemerintahan baru yang akan terpilih pada 2024 untuk meningkatkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan yang menjadi asas pangan nasional sesuai dengan amanat UU Pangan No. 18 tahun 2012.