Belajar Dari Kasus Asabri

Pelimpahan berkas perkara Tahap I untuk 9 orang tersangka megakorupsi Asabri dilakukan oleh Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejagung RI kepada jaksa peneliti. Penyerahan Tahap I untuk memberikan kesempatan kepada jaksa peneliti untuk melihat kekuatan pembuktian, dan kesempurnaan berkas perkara. Jika ada kekurangan, jaksa memberikan petunjuk-petunjuk untuk melengkapi berkas perkara (P-19). Namun jika sudah lengkap, jaksa menerbitkan P-21 dan selanjutnya meminta pelimpahan berkas Tahap II (tersangka dan barang bukti). Perbuatan para tersangka diduga merugikan keuangan Negara cq BUMN sebesar Rp23.739 Triliun. Sedangkan aset para tersangka yang disita hampir mencapai Rp 11 Triliun, kata Direktur Penyidikan JAM-Pidsus Kejagung Febrie Ardiansyah (Media Indonesia online, 1 Mei 2021).


Mengikuti pemberitaan penyitaan asset para tersangka seperti kapal tanker LNG Aquarius, dan 19 kapal lainnya, puluhan lukisan berlapis emas dan belasan jam tangan mewah, Rolls Royce hingga Mercedes Benz, puluhan ribu hektare tanah, tambang batu bara, hotel dan mall serta apartemen mewah tidak ada satu pun yang dimiliki eks Direksi atau Kadiv Investasi. Semuanya dimiliki pihak non manajemen Asabri atau pemain†BT, HH dan JS, sedangkan asset yang disita dari ARD, SW, BE, HS dan IWS seperti armada bus pariwisata, mobil travel, SPBU, tanah dan beberapa mobil pribadi nilainya tak seberapa. Apakah karena pintar menyembunyikan hasil rasuah atau memang hanya menerima uang receh†semata? Sangat menyedihkan!
Megakorupsi Asabri secara tidak langsung mempermalukan jati diri prajurit Sapta Margais. Mereka yang diberi amanah untuk mengelola uang Negara, dan uang prajurit berpangkat tinggi dan orang berduit, serta diberikan penghasilan, dan pelayanan baik dari perusahaan plat merah itu. Selain itu, tidak perlu berpikir letih untuk mencari laba karena Asabri BUMN penugasan. Cukup bekerja sesuai rule on the track saja. Apakah karena tak mampu menahan selera?

Asabri mengelola akumulasi Iuran Dana Pensiun (IDP) sebesar 4.75% dari (Gaji Pokok+Tunjangan Isteri+Tunjangan Anak) yang dititipkan oleh Menteri Keuangan, dan Tabungan Hari Tua (THT) sebesar 3.25% yang dititipkan oleh prajurit. Uang tersebut setiap bulan terakumulasi di rekening Asabri. Sedangkan pembayaran uang pensiun dikucurkan dari APBN, dan Asabri hanya bertindak sebagai operator pembayaran. Untuk uang THT akan diterima ketika prajurit atau PNS Kemhan dan Polri dipisahkan (alih status, pensiun, berhenti atau dipecat) dalam bentuk Santunan Nilai Tunai Asuransi (SNTA). Sehingga risiko badai†tidak separah Jiwasraya karena uang pembayaran klaim dari APBN.

Seandainya pengelolaan uang THT dilakukan dengan benar, tidak mustahil prajurit atau PNS akan menerima SNTA yang lebih besar dari SNTA yang diterima selama ini. Namun sangat disayangkan, para tersangka bukan memikirkan kesejahteraan anggota, tetapi memikirkan diri sendiri dan memperkaya orang lain. Apakah nurani hilang dikalahkan logika sesat? Atau boleh jadi logika diplintir untuk menyesatkan.

Logika sesat pun masih diterima akal jika hasil terbesar dinikmati manajerial ASABRI. Ternyata dalam mega rasuah ini, kalau boleh disebutkan nilai aset-aset yang disita pun tak sebanding dengan risiko dan tanggung jawab. Mungkin eks Direksi, dan eks Kadiv Investasi dicekoki teori Bisnis Judgement Rules, seolah-olah jika terjadi kerugian investasi hanya kerugian bisnis semata. Lalai mengenai mekanisme pengggunaan uang Negara di BUMN diatur secara rigid.

Bila menelisik hasil sitaan belum sampai 50%, pengembalian kerugian Negara tidak mungkin tercapai. Bila diganti dengan hukuman pengganti pun sia sia saja. Apalah gunanya itu. Lebih baik menjalani hukuman dari pada mengganti uang puluhan triliunan. Seandainya pun masih ada asset tersembunyi, lebih baik disembunyikan buat hari tua. Langkah terbaik, Kejaksaan menempuh gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dengan menggunakan ex Pasal 1365, 1366 KUHPerdata sehingga seluruh harta para tersangka dapat disita meskipun tidak berasal dari hasil korupsi Asabri. Bahkan harta yang diberikan para tersangka kepada anak-anak, dan anak-anak para tersangka ikut membayar kerugian Negara jika tidak menolak waris.

Instrumen gugatan sudah sepatutnya digunakan untuk mengoptimalkan pengembalian kerugian Negara, serta untuk menimbulkan efek jera kumulatif. Dengan mengoptimalkan tanggung jawab keperdataan berantai diharapkan terjadi pengawasan internal keluarga. Ada kemungkinan korupsi melibatkan anggota keluarga seperti isteri, anak ataupun sanak keluarga karena mereka telah diperiksa sebagai saksi.

Jika Kejagung RI terus berniat membuka borok Asabri, diyakini calon tersangka akan bertambah. ARD menjabat Dirut Asabri periode 2009-2016, dilanjutkan SW tahun 2016-2020, serta BE sebagai Direktur Investasi dan Keuangan (2013-214), dan dilanjutkan HS (2015-2019) serta IWS Kadivinvestasi 2012-2017 setiap tahun beberapa diaudit oleh auditor Negara (BPK, BPKP, Inspektorat Kementerian), dan PricewaterhouseCoopers (PwC). Untuk internal ada Satuan Pemeriksa Internal (SPI), dan rutin membuat laporan penempatan dana IDP dan THT kepada Menteri Keuangan. Seandainya para auditor melakukan tugasnya dengan baik, diyakini mega skandal asuransi prajurit itu tidak sebesar ini.

Kasus Asabri mencuat setelah Rini Soemarno yang kala itu sebagai Menteri BUMN melaporkan secara resmi dugaan fraud di Asabri dan Jiwasraya ke Kejaksaan Agung RI. Kenapa sebelum laporan Menteri BUMN aman-aman saja? Apakah kelak ada skandal di dalam megaskandal? Semoga para tersangka mau berterus terang, dan penyidik terus mengikuti aliran uang (follow the money). Who's next?

Penulis, Advokat dan Purnawirawan TNI
**