Klaim Pemerintah bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah bekerja keras untuk menanggulangi krisis akibat pandemi Covid-19 dinilai tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, Rp 1.356 triliun amblas dari ekonomi Indonesia pada 2020 dan hanya membuat pertumbuhan nasional minus 8,8 persen dari target awal 5,3 persen pada tahun lalu.
- Gerinda Dalami Lima Nama untuk Posisi Wakil Bupati
- Moeldoko Lebih Teruji Dibanding Prabowo Dan AHY
- Jika Pilih Gatot, Prabowo Mudah Dipatahkan Dengan Isu Militer
Baca Juga
Klaim Pemerintah bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah bekerja keras untuk menanggulangi krisis akibat pandemi Covid-19 dinilai tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, Rp 1.356 triliun amblas dari ekonomi Indonesia pada 2020 dan hanya membuat pertumbuhan nasional minus 8,8 persen dari target awal 5,3 persen pada tahun lalu.
"Kalau pemerintah klaim APBN sudah bekerja keras tentu tidak seluruhnya benar," kata ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, kepada Kantor Berita Politik RMOL di Jakarta, Senin (3/5).
Bhima mengurai, selama pandemi Covid-19 rasio stimulus fiskal pemerintah dibanding PDB Indonesia relatif rendah hanya berkisar 4-5%. Sementara negara tetangga sudah berada di atas 10%. Malaysia misalnya, tahun lalu tercatat stimulus mencapai 10% dan Singapura 10,9%.
"Jadi stimulus masih relatif rendah, tentunya tidak bisa berbangga APBN punya kontribusi besar terhadap penanganan resesi ekonomi," paparnya.
Kemudian, lanjut Bhima, pemerintah tidak melakukan perombakan anggaran yang diperlukan. Hal ini tercermin dari alokasi belanja pegawai dan belanja barang yang masing-masing mencapai Rp 403,7 triliun dan 273,2 triliun.
Sementara belanja pembayaran bunga utang angkanya boros, yakni Rp 338,8 triliun. Di sisi lain belanja bantuan sosial hanya Rp 174,5 triliun berdasar Perpres 72/2020.
"Sudah jelas, anggaran birokratis yang jumbo menghalangi ruang fiskal untuk menstimulus pos yang diperlukan khususnya belanja sosial dan UMKM," tuturnya.
Selanjutnya, masih kata Bhima, pemerintah terlalu gampang memberikan insentif perpajakan yang tidak berdampak langsung terhadap serapan kerja.
Misalnya korporasi mendapatkan aneka insentif pajak mulai dari penurunan tarif PPh badan, PPh impor, PPh Pasal 25, dan percepatan restitusi pajak.
Imbasnya pengangguran tetap tinggi sementara rasio pajak melorot ke 8,3% atau terendah dalam 8 tahun terakhir. Harusnya dievaluasi semua insentif pajak itu.
"Andaikan 3 hal utama itu dikerjakan pemerintah selama 2020 lalu maka kehilangan nilai ekonomi bisa ditekan," pungkasnya. [sth]
- PDI Perjuangan Kota Pekalongan Komentari Pengganti Ganjar Pranowo di Jateng
- Setia Berkoalisi di Pilkada Kudus Bersama Gerindra, Meski Golkar Diuntungkan Putusan MK
- Ganjar Tak Khawatir Suara di Jateng Tersedot Prabowo-Gibran