Final Tari Kreasi Tradisional, Tampilkan Cerita Kehidupan Masyarakat hingga Pahlawan

Beragam tarian Indonesia tersaji melalui lomba Tari Kreasi Tradisional dalam gelaran Pentas Inovasi Mahasiswa (PIM) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).


Tiga kelompok tari berhasil melaju ke final Tari Kreasi Mahasiswa di Balairung UKSW dalam rangka Dies Natalis ke-66 UKSW.

Koordinator lomba Tari Kreasi Tradisional Krisma Widi Wardani, S.Pd., M.Pd., mengungkapkan bahwa acara ini dibuat untuk memberikan wadah kepada mahasiswa sehingga dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki.

"Acara ini memberikan kesempatan mahasiswa untuk memperkaya pengalaman dalam perlombaan tari. Sehingga nantinya mahasiswa dapat mengembangkan diri dalam kompetisi tari lainnya dan mempresentasikan Indonesia mini yang ada di UKSW," kata Krisma didampingi Humas UKSW Anggraeni Upik, Rabu (16/11). 

Menghadirkan tiga juri yang berasal dari Bali, Semarang dan Ambarawa, ketiga kelompok tari menampilkan tarian kreasi terbaik mereka. 

Salah satu juri yang merupakan pendiri Sanggar Tari Sekar Dewata Bali, I Ketut Gede Bensesa, S.Sn., menerangkan kriteria lomba Tari Kreasi Tradisional yang diselenggarakan meliputi seni artistik, kekompakan, keselarasan tema, gerakan dan tata busana yang dikenakan.

Saat ditemui di sela acara, Ketut mengapresiasi lomba tari yang diinisiasi UKSW, sebab hal itu dapat menjadi sebuah strategi pengembangan karakter  

"Banyak manfaat yang dapat diambil dari lomba tari, diantaranya dapat membangkitkan pelestarian seni dan membangun kearifan lokal. Kebersamaan antar individu, tenggang rasa karena keberagaman, rasa semeleh atau nrimo juga bisa diasah melalui tari," ucap Ketut. 

Senada dengan Ketut, dua juri lainnya Rimasari Pramesthi Putri, S.Pd., M.Pd., sebagai seniman yang sekaligus Dosen Seni Tari UNNES dan Ino Sanjaya S.Sn., yang merupakan seniman mengungkap hal serupa. 

Lomba Tari Kreasi Tradisional ini adalah kesempatan emas untuk mengembangkan diri dan mendapat insight dari pelatih.

Dalam ajang tari kreasi ini, penampilan pertama dibuka oleh Tarian Kodikotek. Tarian ini menceritakan tentang masyarakat Flores dimana kaum laki-laki mencari hewan buruan yang dibawa pulang dan disambut meriah oleh perempuan-perempuan di daerah tersebut.

Tarian ini dipentaskan oleh lima mahasiswa yang berasal dari Kupang, Palembang dan Maluku Utara dalam waktu kurang lebih lima menit. 

Berbalut kostum khas Flores lengkap dengan mahkota bulu di kepala, penampilan dengan kesan etnik yang kental berhasil dibawakan kelompok dengan nama Flobamora ini.

Tak kalah uniknya, penampilan kedua oleh kelompok Jailolo. Kelompok ini menggambarkan kehidupan masyarakat Jailolo di masa lalu dengan tariannya. 

Dibuka dengan satu penari, tarian Cakalele yang dipertontonkan sebagai bentuk rasa syukur kepada alam dan para leluhur ini membuat para penonton penasaran dan menanti-nantikan pertunjukan tarian ini.

Salah satu penari Cakalele mengungkapkan bahwa tarian ini terinspirasi dari zaman Pahlawan Pattimura, tarian Cakalele sendiri sering dipertunjukkan di Maluku Utara tepatnya Suku Sahu.

"Aku senang bisa tampil karena aku ingin melestarikan tarian tradisional dari daerah asalku dan memperkenalkan tarian ini kepada orang lain," ungkap Juani Evalin Tjida yang sudah sering lomba tari sejak SMA di Maluku Utara ini.

Menutup lomba tari, kelompok Jesamangi berhasil membawakan tarian yang memvisualisasikan perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan. Dipertunjukkan oleh 4 mahasiswi, tarian ini membawa pesan bagi penonton bahwa wanita tidak hanya bisa memasak di dapur namun juga bekerja di ladang.

"Tarian ini kita kreasikan karena kita terinspirasi dari R.A Kartini. Sebagai wanita, kita juga bisa membantu melawan penjajah. Tidak berhenti disitu, kami juga dapat melawan kebodohan. Tarian tradisional ini juga kita gabungkan dengan tarian modern," terang Jessica salah satu personel kelompok Jesamangi.

Adapun pemenang lomba Tari Kreasi Tradisional ini akan diumumkan bersamaan dengan berbagai lomba PIM lainnya pada Satya Wacana Award, di Balairung UKSW.