Ini Kata Pakar Soal Rencana Kemendikdasmen

Istimewa
Istimewa

Wacana Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) memberlakukan kembali penjurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Bahasa di jenjang SMA, mengundang respon para pemangku pendidikan.

Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rosyidi mengapresiasi kebijakan yang akan mengembalikan penjurusan IPA, IPS dan Bahasa di jenjang SMA tersebut.

Menurutnya, kebijakan ini merupakan langkah tepat agar siswa dapat memiliki ilmu pengetahuan sesuai minatnya dengan baik sebelum mendalami ilmu secara spesifik.

“Harapan agar siswa menguasai semua ilmu itu baik. Tetapi, jika tidak siap yang terjadi malah siswa tidak mendapatkan ilmu apa-apa atau hanya sedikit,” ujar Unifah dari rilis resminya, dikutip Selasa (15/4).

Sementara itu Guru Geografi SMA Pangudi Luhur II Servasius Bekasi, Ignasius Sudaryanto menyatakan sepakat atas kebijakan yag mengembalikan penjurusan menjadi IPA, IPS dan Bahasa.

“Hal ini akan membuat siswa lebih fokus belajar, dan sekolah juga lebih mudah untuk mengelola tenaga pendidiknya,” ujarnya.

Menurut pandangannya dengan tanpa penjurusan, siswa mengalami kebingungan saat akan menentukan pemilihan mata pelajaran peminatan.

Yang terjadi kemudian, banyak ilmu pelajaran yang dipilih tidak sesuai dengan yang dibutuhkan saat menjalani perkuliahan.

Sudaryanto menambahkan adanya kendala lain yang dihadapi sekolah yakni pembagian jam mengajar guru. Dengan peminatan mata pelajaran maka jumlah siswa dalam rombongan belajar menjadi tidak seimbang.

Akibatnya, jam mengajar guru pada mata pelajaran yang kurang diminati, jadi berkurang. Hal ini akan berdampak pada sertifikasi.

Pendapat senada disampaikan oleh praktisi pendidikan, Heriyanto yang mengungkapkan adanya kekurangsiapan saat kurikulum Merdeka diberlakukan dengan penghapusan penjurusan di jenjang SMA.

Heriyanto menyampaikan bahwa terlalu dini saat di awal kelas XI, siswa diharuskan memilih profesi yang akan digeluti kelak. “Dengan penetapan itu, maka ada beberapa mata pelajaran yang perlu diambil dan dilepaskan, padahal itu adalah mata pelajaran dasar yang sangat diperlukan,” paparnya.

Selanjutnya Heriyanto mengingatkan adanya masalah saat di kelas XII terjadi perubahan pada pilihan profesi.

Sebagai contoh, bagi siswa yang memilih kedokteran dapat melepas mata pelajaran (mapel) fisika dan hanya fokus pada mapel biologi dan kimia. Perubahan pilihan kepada bidang teknik mensyaratkan fisika sebagai dasar ilmu, padahal mapel tersebut ditinggalkannya.

Heriyanto juga mengungkapkan adanya kurang adanya sinkronisasi antara pendidikan SMA dangan perguruan tinggi.

Contoh realita terlihat pada penetapan aturan dari beberapa perguruan tinggi yang mengharuskan mahasiswanya lulus dalam perkuliahan bersama untuk mata kuliah fisika, kimia dan biologi meskipun bukan dari jurusan Teknik.

“Beberapa mata pelajaran tetap diajarkan sebagai bekal awal saat di perguruan tinggi, termasuk untuk jurusan IPS. Bagi siswa yang bercita-cita menjadi akuntan dapat mengabaikan mapel seografi atau sosiologi. Tetapi saat cita-citanya bergeser ingin kuliah di fakultas hukum akan bertemu dengan kedua  mapel yang teranjur diabaikannya,” imbuh Heriyanto.