Pakar: Keadilan Restoratif, Prioritas Dalam Revisi KUHAP!

Dian Tanti/RMOLJateng
Dian Tanti/RMOLJateng

Banyaknya aturan yang diterbitkan lembaga penegak hukum menjadikan putusan dari kebijakan keadilan restoratif seringkali menjadi kontroversi.


Hal itu disampaikan sejumlah pakar hukum saat Seminar Nasional tentang keadilan restoratif yang digelar Pusat Penelitian Pengembangan Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (P3KHAM) UNS di Solo, Kamis (27/2) 

Yang mana sejumlah pakar hukum merekomendasikan kebijakan keadilan restoratif (restorative justice) menjadi salah satu prioritas dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang saat ini dalam proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

Prof. Dr. Hari Purwadi Guru Besar Fakultas Hukum (FH) UNS mengatakan saat ini, lembaga penegak hukum memiliki aturan keadilan restoratif yang berbeda-beda, sehingga perlu ada standar yang sama. 

"Ke depan aturan keadilan restoratif harus mengatur prosedur, teknik dan standar hukum yang sama di antara para APH dan Kejaksaan bisa menjadi lembaga yang ikut mengontrol proses penyidikan dan proses keadilan restoratif yang dilakukan oleh polisi," jelasnya, Kamis (27/2). 

Prof Dr. Pujiono Guru Besar FH Universitas Diponegoro (Undip) menyatakan, keadilan restoratif berpotensi menjadi alternatif mekanisme penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan formal.

“Keadilan Restoratif dapat dimasukkan dalam pembaharuan KUHAP atau diatur melalui regulasi yang lebih spesifik di tingkat undang-undang," ucapnya. 

Keadilan restoratif dapat berfungsi sebagai konsep keadilan yang menjadi pertimbangan dalam seluruh tahapan proses peradilan, termasuk dalam pengambilan putusan, untuk semua jenis tindak pidana. 

Dirinya menilai bahwa kewenangan untuk melakukan keadilan restoratif sebaiknya dilakukan kejaksaan sebagai pengendali perkara. 

“Jika keadilan restoratif dijadikan alternatif penyelesaian perkara pidana, maka pengaturannya harus dibuat secara khusus dengan pembatasan pada jenis tindak pidana tertentu, bergantung pada arah politik hukum yang berlaku,” lanjutnya.

Prof. Dr. Ali Masyar Guru Besar FH UNNES melihat pentingnya keadilan restoratif dilihat dari perspektif korban kejahatan. 

"Selama ini korban sering diabaikan dalam sistem peradilan pidana karena dirasa telah diwakili Polisi dan Jaksa dalam proses penyidikan, dakwaan, dan tuntutan," tambah Prof Ali.

Hal senada juga disampaikan salah satu advokat asal Solo, Dr. Adi Putro Pangarso menyampaikan pentingnya regulasi terkait keadilan restoratif menjadi salah satu payung hukum tersendiri di KUHAP. 

"Kendati dalam KUHAP, hak-hak pelaku kejahatan lebih banyak diatur, namun dalam praktik acapkali belum sempurna,” imbuhnya. 

Dalam diskusi yang  dihadiri oleh sejumlah pakar hukum dari sejumlah kampus di Jawa Tengah ini terdapat sejumlah poin rekomendasi terkait keadilan restoratif diatur dalam revisi KUHAP. 

Pertama untuk memperkuat keadilan restoratif dalam penegakan hukum pidana di Indonesia, pelaku, korban, dan masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam penyelesaian tindak pidana, selain negara. 

Kedua penguatan kebijakan negara diperlukan untuk mendorong penyelesaian perkara pidana di luar jalur pengadilan formal. Dengan mengedepankan solusi yang lebih cepat, efektif, dan efisien, dengan menekankan penyelesaian yang saling menguntungkan (win-win solution).

Ketiga, revisi KUHAP mendesak dilakukan karena keadilan restoratif telah mengakar kuat dalam praktik tradisi hukum lokal di Indonesia, namun belum sepenuhnya diakui dan dilaksanakan dalam kebijakan hukum pidana di Indonesia.

Keempat, perlunya persepsi yang sama antar aparat penegak hukum terutama polisi dan jaksa dalam memandang kebijakan keadilan restoratif dengan menempatkan kejaksaan sebagai dominus litis, menjadi koordinator dalam penerapannya. 

Kelima, peraturan kebijakan keadilan restoratif yang telah berlaku bagi internal aparat hukum selama ini agar dijadikan salah satu bahan utama untuk menormakannya di dalam revisi KUHAP.