Jelang Pemilu, Kepala Daerah Cenderung Seret Birokrasi Masuk Pusaran Politik

Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Unsoed Purwokerto Prof. Dr. Dwiyanto Indiahono, S.Sos., M.Si. (Foto Dok)
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Unsoed Purwokerto Prof. Dr. Dwiyanto Indiahono, S.Sos., M.Si. (Foto Dok)

Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Unsoed Purwokerto Prof. Dr. Dwiyanto Indiahono, S.Sos., M.Si menilai, menjelang proses demokrasi pemilu secara langsung, keberadaan birokrasi pemerintah berada pada kondisi yang tidak menguntungkan.


“Pada satu sisi lain dikehendaki oleh Undang-undang untuk bersikap netral, tetapi acapkali oleh kepala daerah dipaksa dibawa dalam pusaran aktivitas politik praktis. Kondisi ini memang menyedihkan,”ujar Dwiyanto Indiahono, Senin (27/11/2023).

Menurut Dwiyanto Indiahono, pada era reformasi pasca Undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN),  kontrol politik oleh pejabat politik semakin meningkat, hal ini karena pemilihan kepala daerah secara langsung mengakibatkan kepala daerah merasa memiliki kedaulatan rakyat yang kuat, sehingga seakan-akan memiliki hak prerogatif untuk mengendalikan birokrat secara otonom.

“Pejabat politik ingin mempertahankan atau memanfaatkan posisinya untuk meraup keuntungan politik (suara) dalam aktivitas yang dikelola administrasi. Pada sisi yang lain, birokrat yang tidak percaya diri, minim pengalaman, dan tidak sanggup berkompetisi lebih memilih melakukan manuver lobi-lobi politik untuk naik ke jabatan yang lebih tinggi. Pelanggaran netralitas birokrasi pada ajang pemilu menjadi hal yang lazim. Kondisi simbiosis mutualisme ini terkadang semakin menjadi di tahun-tahun ini,”ujar Dwiyanto.

Dikatakan Dwiyanto, pengalaman menunjukkan bahwa sanksi yang diberikan kepada birokrat yang melanggar prinsip netralitas ternyata hanya tajam kepada birokrat yang mendukung kandidat yang kalah, jika calon yang didukungnya menang atau petahana yang terjadi bukanlah penerapan hukuman.

“Pejabat politik yang dipilih secara langsung oleh rakyat merasa dirinya memiliki kedaulatan rakyat secara utuh, dan merasa menjadi pihak yang berkuasa penuh untuk menentukan nasib pegawai birokrasi. Padahal, birokrasi memiliki aturan main sendiri, ia tidak bisa seenaknya mendapatkan promosi dan demosi. Birokrasi memiliki aturan merit yang harus dipenuhi dalam membangun profesionalismenya,” tegas Dwiyanto yang baru dikukuhkan sebagai guru besar ilmu politik pada pekan lalu.

Dwiyanto menyebut, penelitian yang dilakukannya tentang fenomena sowan, dan indeks netralitas birokrasi menunjukkan fenomena yang unik, pada tingkat elit birokrasi cenderung lebih kuat untuk ikut arus aktivitas politik, sedangkan pada arus bawah birokrasi cenderung lebih bisa menegakkan netralitas birokrasi. ‘Penelitian di Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap, dan Kebumen,  menemukan bahwa fenomena ‘sowan-yang biasa dilakukan elit birokrasi- dalam perspektif birokrasi menandakan persahabatan, kesetiaan, pendekatan, dan negosiasi.

“Kajian-kajian ini memberi pesan bahwa penegakan pelanggaran netralitas birokrasi dapat lebih difokuskan pada elit birokrasi daripada birokrasi akar rumput. Asas netralitas harus dapat mendorong birokrasi untuk bersikap profesional, patriotik, dan pro-publik dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya,”ujarnya.