Tidak tahan dengan kelakuan sang suami, Aparatur Sipil Negara (ASN) Kota Semarang menggugat sang kepala rumah tangga itu secara perdata ke Pengadilan Negeri Semarang.
- Ibu Korban Penganiayaan di Getasan Desak Pelaku dan Anaknya Ditahan
- Sempat Kabur, Pengemudi Elf Maut di Tuntang Akhirnya Ditangkap
- Kadiv Pemasyarakatan Kadiyono Sidak Rutan Salatiga, Beri Beberapa Catatan
Baca Juga
Menariknya, tak hanya suaminya, sang ASN juga melibatkan Kapolrestabes Semarang sebagai turut tergugat I dan Kepala Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Semarang sebagai turut tergugat II untuk kepentingan klien dalam rangka menggali bukti-bukti dan saksi.
Kuasa hukum korban, Edi Purwanto SH, mengatakan bahwa kliennya yang berstatus sebagai ASN di Kota Semarang ini telah menjadi korban kekerasan psikis dari suaminya sejak 2019.
"Kami menjadikan Polrestabes sebagai Turut Tergugat I, dan PPA sebagai Turut Tergugat II berdasarkan Undang-undang pasal 10 tentang penghapusan KDRT tahun 2004" ungkap Edi kepada RMOLJateng, Minggu (23/6).
Dengan hadirnya Polrestabes dan PPA didalam persidangan, kata Edi, kami menaruh harapan besar agar kasus ini terungkap dan kliennya atau korban mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum atas apa yang dialami selama ini.
Tak hanya Kapolrestabes, Edi juga berencana ingin menghadap Wali Kota Semarang, Hj Hevearita Gunaryanti Rahayu, untuk membantu memberikan perlindungan dari ancaman suami korban.
"Karena klien kami merupakan ASN di Semarang, kami berencana ingin menghadap Bu Wali Kota untuk mengadukan permasalahan yang dihadapi karena kami tahu tahu , Bu Walikota sangat peduli dengan masalah perempuan , Semoga Bu Wali Kota berkenan untuk menerima," kata Edi.
Edi berharap pada semua pihak terutama pegiat dan aktifis perempuan untuk membantu memberikan dukungan moril pada kliennya.
"Untuk itu kami mengharapkan semua pihak untuk berempati dan memberikan perlindungan kepada korban-korban KDRT" pungkas Edi
Dalam surat gugatan yang diterima RMOLJateng tertulis, korban E telah berumah tangga dengan A F (40) sejak 2011 dan tinggal di kawasan Jalan Beruang Raya, Kelurahan Gayamsari, Semarang. Keduanya telah dikaruniai dua orang anak berusia 10 dan 9 tahun.
Prahara rumah tangga itu bermula pada tahun 2019 ketika suami korban mulai mencurigai dan menuduh korban berperilaku tidak terpuji. Suaminya bahkan memasang kamera di pakaian seragam korban untuk mengawasi aktivitasnya.
Walaupun sudah memasang kamera di seragam korban, suami korban tetap memfitnah, mencaci maki, dan menghina korban melalui pesan singkat WhatsApp maupun secara langsung.
Pemasangan kamera itu berlangsung selama 2,5 tahun, membuat korban merasa terganggu karena selalu diawasi.
Tidak hanya itu, aktivitas korban dalam bekerja juga terganggu karena suaminya selalu meminta video call nonstop selama jam kerja.
Kondisi ini kata Edi, membuat kliennya merasa terganggu secara psikis karena suaminya sering mengancam akan menyeret korban sampai muntah dan melontarkan kata-kata tidak pantas.
"Akibat perbuatan tergugat, klien kami mengalami depresi dan trauma sehingga memutuskan untuk melawan perilaku suaminya dengan menggugat ke pengadilan," kata Edi.
Edi menjelaskan bahwa sidang yang berlangsung di pengadilan Rabu (19/6) lalu sudah menghadirkan saksi dari teman Penggugat terungkap fakta ditemukan adanya kekerasan psikis yang dialami oleh Penggugat.
"Dan sesuai keterangan saksi ART dari Penggugat, diketahui saksi pernah melihat secara langsung Penggugat dihina dan mendapatkan kekerasan fisik yang dilakukan oleh Tergugat" kata Edi mengutip keterangan saksi .
Edi juga membeberkan, pihaknya sudah mendatangkan saksi ahli dalam sidang yang berlangsung Kamis (20/6) lalu menghadirkan saksi ahli psikolog RS Elisabeth Semarang. Doktor Probowatie
"Sesuai keterangan saksi ahli bahwa anak Penggugat dan Tergugat yang berinisial 'V' yang berumur 11 tahun telah mengalami trauma (stress berat) dan saksi ahli menyampaikan perlu adanya perlindungan, pendampingan dan penyembuhan pasca trauma" kata Edi.
Oleh karena itu, ungkap Edi, pihaknya akan mengirim surat kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk meminta perlindungan.
- Ribuan Warga Antusias Peringati Pertempuran Lima Hari di Semarang
- Teguh Prakosa : Kita Pertajam Komunikasi
- Dolan ke Pabrik, Yoyok Dengarkan Curhatan Karyawan