KDRT di China Meningkat Tajam

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di China terus mengalami lonjakan. Faktor pembatasan ketat Covid-19 dan sistem peradilan diduga jadi salah satu penyebabnya.


Hongkong Post melaporkan, lebih dari 13.000 orang, yang kebanyakan perempuan, dilaporkan menggunakan layanan bantuan kekerasan dalam rumah tangga untuk mendapatkan bantuan.

Kasus kekerasan dalam rumah tangga meningkat tajam terutama selama pandemi karena pembatasan ketat diberlakukan pada orang-orang.

Di Provinsi Hubei, jantung dari wabah awal virus corona, kasus KDRT bahkan meningkat hingga tiga kali lipat dari yabg awalnya 47 kasus pada 2019 menjadi 162 pada 2020.

Insiden kekerasan dalam rumah tangga kerap dilaporkan dari berbagai bagian China, tetapi hal itu menjadi lebih terlihat dalam beberapa tahun terakhir.

Pada 2016, ketika China mengesahkan undang-undang anti-kekerasan dalam rumah tangga pertamanya, undang-undang tersebut disambut secara luas karena dianggap sebagai kemenangan besar bagi para aktivis hak-hak perempuan.

Namun, kritikus telah menunjukkan celah dalam rancangan undang-undang tersebut dan menyatakan bahwa itu tidak mencakup pasangan yang bercerai atau tidak menikah, serta mereka yang memiliki hubungan sesama jenis.

UU KDRT China secara tegas telah dinyatakan dalam Pasal 1 yang berbunyi: “mencegah dan menghentikan kekerasan dalam rumah tangga; melindungi persamaan hak anggota keluarga; memelihara hubungan kekeluargaan yang setara, harmonis, beradab; mempromosikan keharmonisan keluarga dan stabilitas sosial.”

Sayangnya, tujuan terakhir (memelihara dan melindungi kerukunan keluarga) secara langsung bertentangan dengan tujuan pertama (mencegah kekerasan dalam rumah tangga), yang merupakan isu utama yang menyebabkan ketidakefektifan hukum secara keseluruhan.

Para advokat dan pengacara KDRT telah menyatakan keprihatinan mereka atas pola yang muncul dalam kasus perceraian: Beberapa menegaskan bahwa pengadilan China terlalu sering menolak atau mengabaikan klaim perempuan tentang kekerasan pasangannya. Akibatnya, korban gagal mencari ganti rugi atas luka fisik dan kerugian lainnya.

Sebuah studi yang dilakukan baru-baru ini oleh Firma Hukum Qianqian Beijing mengungkap fakta mengejutkan tentang kekerasan dalam rumah tangga.

Menurut penelitian, dari 844 kasus perceraian tanpa klaim kompensasi, pengadilan hanya mendukung klaim kekerasan dalam rumah tangga dalam 54 kasus.

Dalam 346 kasus, hakim tidak menanggapi klaim tersebut dalam keputusan mereka. Sisanya, 244 kasus, hakim memutuskan bahwa dugaan penyerangan tidak pernah terjadi, dengan alasan seperti tidak cukup bukti, atau bahwa pengaduan harus diperlakukan sebagai perselisihan keluarga.

Dalam 94 kasus di mana penggugat meminta kompensasi uang, 78 di antaranya menggambarkan berbagai insiden dan bentuk kekerasan dalam rumah tangga, termasuk penyerangan, pelecehan verbal, dan ancaman.

Meskipun 51 dari mereka menyerahkan bukti yang relevan seperti laporan polisi, foto, dan catatan medis, pengadilan hanya mengkredit laporan kekerasan dalam rumah tangga dalam 10 kasus.

Studi ini juga menemukan bahwa, dari 94 kasus di mana penggugat menuduh pasangan mereka melanggar “hak-hak kepribadian” dengan melakukan kekerasan pada mereka, pengadilan hanya mendukung klaim dalam 15 kasus.

Bahkan, ketika pengadilan memerintahkan pemberian kompensasi, penggugat jarang menerima haknya secara penuh. Hakim sendiri kebanyakan memandang bahwa korban bertanggung jawab karena tidak menangani sengketa dengan benar, atau "terlalu impulsif pada saat-saat stres."

Ironisnya, penggugat selalu ditauntut untuk menyerhakn bukti-bukti ketika mereka membuat klaim kekerasan dalam rumah tangga. Hal inijuga diakuioleg para aktivis bahwa banyak yang memberatkan dan hukum memiliki keterbatasan,

Salah satu pendiri LSM Beijing Equality, Feng Yuan, menunjukkan beberapa kelemahan dalam penegakan hukum.

“Di luar pengadilan, ada perbedaan besar dalam cara petugas polisi setempat menangani laporan kekerasan dalam rumah tangga,” kata Yuan.

Selain itu, ada hambatan yang semakin besar untuk bercerai, seperti periode "pendinginan" 30 hari yang diwajibkan oleh hukum Tiongkok untuk pasangan yang ingin berpisah.

Sebuah laporan tahun 2020 oleh Beijing Equality menunjukkan bahwa lebih dari 900 wanita telah meninggal di tangan suami atau pasangan mereka sejak undang-undang anti-kekerasan rumah tangga China mulai berlaku.

Influencer video Tibet Lhamo misalnya, ia meninggal pada tahun 2020 setelah mantan suaminya membakarnya selama siaran langsung. Lhamo telah menelepon polisi beberapa kali ketika pelecehan terjadi, tetapi keluhannya tidak ditanggapi dengan serius, dan dia tidak pernah menerima perlindungan yang dia cari.

Insiden Lhamo jarang terjadi tetapi bukan tidak mungkin itu kembali terulang. 

“Dari waktu ke waktu, kami menerima panggilan dari korban yang terus-menerus gagal oleh sistem,” kata Feng.

“Meskipun ada beberapa kasus seperti Lhamo yang menjadi berita utama nasional dan menimbulkan diskusi, liputan media secara keseluruhan tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya sedang menurun. Kami berharap lebih banyak pelaporan tentang masalah ini akan membuat pejabat lebih sadar akan beratnya masalah dan sentimen publik terhadapnya," ujarnya, seperti dilansir dari Kantor Berita Politik RMOL.