Khawatir Medsos Berdampak Buruk, FISIP Undip Kerja Sama Ajak Prof. Merlyna Lim

Undip Khawatir Media Sosial Disalahgunakan Untuk Kepentingan Politik Dan Gandeng Pakar Internasional Berbicara Ajak Diskusi Memperkuat Literasi Dengan Bahasan Sudut Pandang Demokrasi Digital. Dokumentasi Undip
Undip Khawatir Media Sosial Disalahgunakan Untuk Kepentingan Politik Dan Gandeng Pakar Internasional Berbicara Ajak Diskusi Memperkuat Literasi Dengan Bahasan Sudut Pandang Demokrasi Digital. Dokumentasi Undip

Semarang - Dunia pendidikan merasakan kekhawatiran besar media sosial berdampak buruk sehingga ikut berpartisipasi memberikan dukungan nyata. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip) menunjukkan komitmennya ini dalam menjembatani wacana akademik global dan lokal. 


Tugas kampus sebagai perantara dibuktikan melalui kuliah umum internasional bertajuk Social Media And Politics In Southeast Asia, Departemen Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan (DPIP), FISIP Undip menghadirkan pakar terkemuka di bidang politik digital dan media sosial, Prof. Merlyna Lim, Ph.D.

Forum ini juga dirangkai dengan diskusi publik bertema Memahami Politik Algoritma Sosial Media, yang mempertemukan pandangan para akademisi, mahasiswa, dan masyarakat sipil. 

Acara ini dibuka dengan paparan Keynote Speaker, Wijayanto, Ph.D., Wakil Rektor Riset, Inovasi, Kerja Sama, dan Komunikasi Publik Undip yang juga pakar Demokrasi Digital dari DPIP.

Konstruksi penggambaran diawali tajam sebagai pancingan. Wijayanto menjelaskan bagaimana harapan besar pada demokrasi digital kini berubah menjadi kekecewaan. Alih-alih memperluas partisipasi, media sosial justru dimanfaatkan untuk membungkam suara, menyebar propaganda, dan membentuk enklaf algoritmik yang memperkuat polarisasi emosional di masyarakat.

“Ironisnya, apa yang dulu dianggap sebagai ruang bebas kini menjadi arena represi digital,” tutur Dr. Wijayanto. Namun, ia juga optimistis dengan kekuatan masyarakat sipil yang tetap menjadi pilar penting dalam menjaga ruang publik yang sehat.

“Dalam menghadapi tsunami disinformasi dan manipulasi opini publik, masa depan demokrasi digital sangat bergantung pada siapa yang mengendalikan teknologi, serta sejauh mana masyarakat mampu membangun institusi dan norma yang menjunjung deliberasi terbuka dan inklusif,” terangnya.

Prof. Merlyna Lim awali sesi utama dengan gaya khasnya memadukan riset akademik mendalam dengan narasi yang membumi tapi tidak sulit memunculkan asumsi. 

Selama ini, Prof Merlyna mencermati bahwa algoritma media sosial tak hanya membentuk ruang gema (echo chambers), tetapi juga menciptakan jebakan kapitalisme komunikasi di mana ekspresi personal diperdagangkan demi likes dan shares. “Kita tak lagi bicara untuk memahami, merujuk pada teori Habermas. Kita bicara untuk menang,” katanya.  

Dalam kuliah ini, Prof. Merlyna menjelaskan sisi buruk bagaimana media sosial telah menjadi arena kekuasaan yang dikendalikan oleh algoritma, kapitalisme platform, dan budaya popularitas. Isu ini arahnya serius, kata dia, cenderung darurat haruslah untuk segera disikapi atas bahaya enklave algoritmik dan polarisasi afektif yang mengancam kesehatan demokrasi digital di Asia Tenggara.

Lebih jauh, Prof. Merlyna mengajak para akademisi partisipatif mengembangkan perspektif yang lebih kontekstual membangun teori dari Asia Tenggara, bukan hanya sekadar impor pendekatan dari Barat. Dirinya mengingatkan bahwa netralitas teknologi adalah ilusi, dan kita perlu terus mengkritisinya serta mendorong penguatan literasi digital yang lebih transformatif.

Sesi diskusi publik berikutnya turut memperkaya pandangan, dengan Drs. Yuwanto Ph.D. dan Dr. Nurul Hasfi sebagai pembahas, dengan dimoderatori oleh Dr. Agus Naryoso. Kedua pembahas mengulas bagaimana aktor-aktor politik kini mahir memanipulasi algoritma demi membentuk opini publik. Mereka meyakini relevansi pendekatan kritis terhadap media sosial dalam memahami strategi politik kontemporer, khususnya menjelang kontestasi elektoral.

Yuwanto, Ph.D ahli politik dari DPIP FISIP Undip, mengapresiasi buku Prof Merlyna dan menyebut jika buku ini akan bisa menjadi pedoman mutakhir bagi peneliti demokrasi digital dan komunikasi politik. Ia juga sempat memberikan masukan bahwa buku ini akan lebih menarik jika ada bahasan tentang Artificial Inteligent (AI) yang dipastikan kedepan akan jadi teknologi mutakhir dimana-mana.

Sementara itu, Dr. Nurul Hasfi peneliti sosiologi media dan politik Departemen Ilmu Komunikasi. FISIP Undip, secara khusus mengapresiasi pendekatan Prof. Merlyna dan mengatakan buku ini bisa menjadi refleksi kritis komunikasi politik di era digital. Buku ini mengingatkan para elit dan negara agar lebih etis dalam menggunakan media sosial - bukan sekadar alat kampanye, tetapi juga sarana mendidik masyarakat demokratis. 

“Bagi tim sukses dan pengelola media politik, buku ini menjadi kontrol agar tidak terjebak pada strategi viralitas semata yang berisiko memecah publik. Sementara itu, bagi pegiat literasi digital, buku ini sangat berguna memperkuat kesadaran publik agar menjadi pengguna media yang lebih kritis dan bertanggung jawab,” kata Nurul. 

Sementara Wakil Dekan I FISIP, S. Rouli Manalu, Ph.D, mewakili Dekan FISIP UNDIP, Dr. Teguh Yuwono menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya acara ini.

“Media sosial bukan lagi ruang netral, ia bisa menjadi alat kekuasaan yang justru anti-demokratis. Kuliah umum ini merupakan bagian dari upaya FISIP untuk membangun sinergi antara ruang kelas, masyarakat, dan dinamika global yang terus berubah,” ujarnya.