Kota Semarang Alami Hujan Es

Kota Semarang mengalami fenomena hujan es, Senin (21/2).


Kepala Stasiun Meteorologi Ahmad Yani Semarang, Sutikno mengatakan, berdasarkan hasil analisis dinamika atmosfer, diidentifikasi adanya sirkulasi siklonik di perairan utara Australia.

Kondisi ini menyebabkan adanya belokan angin di wilayah Jawa Tengah serta anomali suhu muka laut di Samudera Hindia selatan Jawa yang dapat meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di beberapa wilayah.

"Citra satelit Himawari 8 menunjukan adanya pertumbuhan awan konvektif (cumulonimbus) di wilayah sekitar kejadian (Kota Semarang dan sekitarnya) mulai pukul 16.00 WIB-17.30 WIB dengan suhu puncak awan mencapai -50 °C sampai dengan -80 °C yang mengindikasikan terjadinya hujan intensitas sedang – lebat yang dapat disertai petir/kilat dan angin kencang serta potensi terjadinya hujan es," jelas Sutikno dalam siaran pers, Senin (21/2).

Menurut dia, fenomena hujan es merupakan fenomena cuaca alamiah yang biasa terjadi dan termasuk dalam kejadian cuaca ekstrim. Fenomena itu  disebabkan adanya awan cumulonimbus (CB).

"Pada awan ini terdapat tiga macam partikel (yaitu) butir air, butir air super dingin, dan partikel es," kata dia.

Hujan padat atau es tergantung dari pertumbuhan awan CB, biasanya berlapis seperti bunga kol. Di antara awan itu ada satu jenis awan yang mempunyai batas tepinya sangat jelas berwarna abu-abu menjulang tinggi yang akan cepat berubah warna menjadi abu-abu atau hitam.

Pada awan itu, lanjut dia, terjadi pembentukan es melalui proses pergerakan massa udara yang kuat. Proses itu dikenal dengan istilah strong updraft and downdraft di dalam awan CB.

Pada updraft, uap air naik hingga mencapai ketinggian dimana suhu udara menjadi sangat dingin hingga uap air membeku menjadi partikel es.

"Partikel es dan partikel air super dingin akan bercampur dan teraduk-aduk akibat proses updraft dan downdraft hingga membentuk butiran es yang semakin membesar," jelasnya.

Saat butiran es sudah terlalu besar, maka pergerakan massa udara naik tersebut tidak akan mampu lagi mengangkatnya sehingga butiran es akan jatuh ke permukaan bumi menjadi hail atau hujan es.

"Pada fenomena hujan es/hail, lapisan tingkat pembekuan (freezing level) mempunyai kecenderungan turun lebih rendah dari ketinggian normalnya. Hal ini menyebabkan butiran es yang jatuh ke permukaan bumi tidak mencair sempurna," katanya.

"Di Indonesia, umumnya lapisan tingkat pembekuan berada pada kisaran ketinggian antara 4-5 km diatas permukaan laut," imbuhnya.

Sutikno menjelaskan, soal sifat fenomena hujan es yaitu pertama bersifat sangat lokal.

Kemudian luasannya berkisar 5-10 km, waktunya singkat sekitar kurang dari 10 menit. Berikutnya, lebih sering terjadi pada peralihan musim, dapat dimungkinkan terjadi pada musim hujan dengan kondisi cuaca sama seperti masa transisi atau pancaroba.

"Lima, Lebih sering terjadi antara siang dan sore hari. Enam, Tidak bisa diprediksi secara spesifik, hanya bisa diprediksi 0.5-1 jam sebelum kejadian jika melihat atau merasakan tanda-tandanya dengan tingkat keakuratan < 50 persen. Tujuh, Hanya berasal dari awan Cumulonimbus, tetapi tidak semua awan CB menimbulkan hujan es atau hail," katanya.

Pemilik Plants Shop Flowtus di Jalan Mulawarman, Juneyas Titi Ekandari mengatakan, peristiwa hujan pada Senin (21/2) tidak terlalu lama tapi memiliki dampak kuat.

“Greenhouse paranet dan plastik untuk tanaman sobek dan baja ringan bagian kerangka atap mengalami patah,” ujar wirausaha muda ini.

Dia melanjutkan, hujan mulai turun sekitar pukul 15.00 dengan intensitas deras dan disusul angin.

“Kemudian, ada suara dari atap ternyata hujan angin disertai es,” katanya lagi.