Mewujudkan Perlintasan Sebidang Kereta Api agar Segera Tertangani


Menerobos palang pintu perlintasan kereta api saat sinyal sudah berbunyi dan/atau ada isyarat lain tidak diberikan santunan oleh PT Jasa Raharja kepada korban penyebab kecelakaan yang mengalami kasus kecelakaan atau pelanggaran lalu lintas.

Berdasarkan data PT KAI (2023), telah terjadi 1.839 kecelakaan di perlintasan sebidang selama kurun waktu tahun 2018 - 2023 (Jan – Juli 2023). Sebesar 86 persen diantaranya terjadi kecelakaan di perlintasan tidak dijaga. Total perlintasan sebidang dijaga 1.598 titik (43 persen). Total perlintasan sebidang tidak dijaga 2.095 titik (57 persen). 

Kecelakaan di perlintasan sebidang mayoritas melibatkan kendaraan roda dua. Tahun 2022 terdapat 292 kecelakaan yang terjadi di perlintasan sebidang. Sebanyak 74 persen (196 kejadian) merupakan kecelakaan yang terjadi di jalan kabupaten.

Dalam kurun waktu yang sama, korban kecelakaan di perlintasan sebidang, korban kendaraan roda dua sebanyak 1.084 orang, kendaraan roda empat/lebih 747 orang, pejalan kaki 8 orang, totalnya 1.839 orang.

Sebaran perlintasan sebidang itu berada di Prov. Sumatera Utara yang dijaga 162 titik dan tidak dijaga 263 titik, Prov. Sumatera Barat (28 titik dan 100 titik), Prov. Sumatera Selatan (40 titik dan 70 titik), Prov. Lampung (40 titik dan 187 titik), Prov. DKI Jakarta (209 titik dan 246 titik), Prov. Jawa Barat (192 titik dan 362 titik), Prov. Jawa Tengah (329 titik dan 209 titik), Prov. DI Yogyakarta (138 titik dan 172 titik), dan Prov. Jawa Timur (518 titik dan 487 titik)

Faktor-faktor kecelakaan di perlintasan sebidang, seperti waktu, konstruksi jalan, cahaya saat kecelakaan, kondisi cuaca, jumlah lajur jalan, status jalan, kondisi permukaan jalan dan rel, jenis kendaraan, usia, gender, median jalan, lebar jalan, geometrik jalan, jumlah sepur, palang pintu perlintasan (Hutami, 2020)

Alternatif untuk mengurangi potensi kecelakaan dengan cara penutupan perlintasan dan perlintasan dibuat tidak sebidang. Penutupan perlintasan sebidang kereta api memiliki dampak, seperti aksesibilitas terganggu, ketidaksetujuan masyarakat, memperparah kemacetan lalu lintas di lokasi lain, ada perubahan kondisi sosial dan ekonomi. Oleh sebab itu perlu disusun strategi manajemen rekayasa lalu lintas dalam mengurangi titik kemacetan. 

Sementara membangun perlintasan tidak sebidang berupa flyover atau underpass ada beberapa kendala, seperti biaya besar, proses pembebasan lahan, butuh waktu pembangunan yang cukup lama, menimbulkan titik kemacetan baru saat pembangunan. Oleh sebab itu diperlukan alternatif pembiayaan.

Total perlintasan jalur kereta api dengan jalan nasional sebanyak 187 lokasi. Belum ditangani 138 lokasi (73,8 persen) dengan estimasi Rp 21,5 triliun di luar biaya pembebasan lahan. Yang sudah ditangani sebanyak 49 lokasi (26,2 persen).

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sudah mempunyai Rencana Strategis Kementerian PUPR 2025-2039 tentang Penanganan Perlintasan Sebidang Jalur Kereta Api dengan Jaringan Nasional. Ada 138 lokasi dengan total anggaran Rp 21,39 triliun. Rinciannya untuk tahun 2025 – 2029 sebesar Rp 8,37 triliun membangun 54 flyover atau underppass, tahun 2030 -2034 sebanyak Rp 7, 44 triliun untuk 48 flyover atau underppass, dan tahun 2035 - 2039 dianggarkan Rp 5,58 triliun untuk 36 flyover atau underpass.

Alternatif skema pembiayaan didapat dari APBN, pinjaman luar negeri, pinjaman dalam negeri, Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 367/KPTS/M/2023 tentang Rencana Umum Jaringan Jalan Nasional, 27 lokasi di Prov. Sumatera Utara, 7 lokasi di Prov. Sumatera Barat, 15 lokasi di Prov. Sumatera Selatan, 9 lokasi di Prov. Banten, 13 lokasi di Prov. Jawa Barat, 12 lokasi di Prov. Jawa Tengah dan 55 lokasi di Prov. Jawa Timur.

Pada tahun 2023, mengutip data Ditjen. Bina Marga Kemen. PUPR (2023), ada lima lokasi yang sedang ditangani oleh Ditjen. Bina Marga Kemen. PUPR, yaitu flyover Gelumbang di Prabumulih (Sumatera Selatan), flyover Aloha di Sidoarjo (Jawa Timur), flyover Nurtanio di Bandung (Jawa Barat), flyover Bantaian di Muaraenim (Sumatera Selatan) dan underpass Joglo di Surakarta (Jawa Tengah).

Hasil analisis dari Pusat Kebijakan Keselamatan dan Keamanan Transportasi Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan (2023), kendala umum penanganan perlintasan sebidang dalam hal peningkatan keselamatan adalah (1) ketidakjelasan pembagian tugas, fungsi dan kewenangan, (2) keterbatasan anggaran, (3) keterbatasan SDM penjaga cakap bersertifikasi, (4) ketiadaan sanksi (pengelola dan pengguna jalan), (5) vandalisme (pencurian/pengrusakan), dan (6) kesadaran dan disiplin masyarakat rendah. Sementara upaya penutupan/tidak sebidang adalah (1) resistensi masyarakat (kebutuhan akses), (2) biaya besar, (3) pembebasan lahan, (4) waktu pembangunan lama, (5) kemacetan selama pembangunan.

Kecelakaan di perlintasan sebidang di negara lain

Mengutip dari data yang dikumpulkan Pusat Kebijakan Keselamatan dan Keamanan Transportasi Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan (2023), menyebutkan di Amerika Serikat, tahun 2021 terdapat lebih dari 1.600 kasus tabrakan antara kendaraan dengan kereta barang dan komuter, dan hampir 500 tabrakan di perlintasan kereta transit pada tahun 2020 yang mengakibatkan 133 orang meninggal dan 644 orang luka-luka. Penanganannya dengan penghalang, tanda silang, lampu berkedip dan suara, penjaga.

Di Eropa, pada tahun 2018 persentase fatalitas kecelakaan pada perlintasan sebidang di negara-negara Uni Eropa adalah sebesar 29 persen dari semua total jumlah kecelakaan lalu lintas. Hampir 300 orang meninggal setiap tahun akibat kecelakaan pada perlintasan kereta api di Uni Eropa. Kecelakaan pada perlintasan sebidang di Eropa dialami oleh mobil penumpang sebesar 45 persen, kemudian pejalan kaki sebesar 22 persen dan kendaraan berat sebesar 20 persen. Penanganannya dengan tanda peringatan (STOP), tanda silang, penghalang, sistem peringatan (lampu berkedip dan suara), obstacle detection, LCC by ATACS, GTCD dan aplikasi WAZE untuk evaluasi

Di Jepang, perlintasan sebidang menyumbang sekitar 34 persen dari 615 kecelakaan di Jepang yang melibatkan pergerakan kereta yang tercatat selama tahun anggaran 2019. Dari 211 insiden, 52 terbukti fatal, dengan 55 orang kehilangan nyawa. Namun, data statistik tahun 1988-2014 terus menunjukkan penurunan tingkat kecelakaan perlintasan sebidang di Jepang. Penangananmya dengan penghalang otomatis/manual, alarm dan tanda tetap, dan penjaga 

Upaya terkini

Untuk mewujudkan penanganan perlintasan sebidang kereta api agar segera tertangani dimulai dengan sinkronisasi kebutuhan baseline data. Sebagai host baseline adalah Direktorat Jenderal Perkeretaapian dan PT KAI untuk merumuskan kebutuhan penanganan perlintasan sebidang bagi (1) Ditjen. Bina Marga Kemen. PUPR, (2) Ditjen. Perkeretaapian dan Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, dan (3) Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Disamping itu, Kementerian Dalam Negeri bersama kementerian/lembaga terkait menginisiasi pembentukan Nota Kesepahaman tentang Sinergi Tugas dan Fungsi dalam Peningkatan Keamanan dan Keselamatan Perlintasan Sebidang antara Jalur Kereta Api dan Jalan. Inisiasi dari Kementerian Dalam Negeri untuk mempertegas dan memperjelas kerja di tingkat pemerintah daerah.

Sekarang ini, PT KAI mengoperasikan kereta dengan kecepatan 120 km per jam dan sedang dirancang ke depan akan mencapai 160 km per jam. Sebelumnya, maksimal 90 km per jam. Waktu tempuh perjalanan akan lebih singkat, pengguna senang lebih cepat sampai tujuan. Tentunya, perlintasan sebidang menjadi hal kruisial yang harus segera ditangani, agar kecelakaan di perlintasan tidak terulang kembali dengan pola yang sama.

Mengutip paparan PT Jasa Raharja tentang Penegakan Hukum untuk Masyarakat yang Berkeselamatan (2023), menetapkan improvement kebijaksanaan tidak diberikan santunan kepada korban penyebab kecelakaan yang mengalami kasus kecelakaan atau pelanggaran lalu lintas, yaitu (1) melawan arus lalu lintas, (2) berkendara tanpa surat ijin mengemudi yang sah, (3) mengemudikan kendaraan bermotor yang telah dimodifikasi yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (4) menerobos palang pintu perlintasan kereta api saat sinyal sudah berbunyi dan/atau salah isyarat lain, (5) berkendaraan dengan tidak wajar untuk membuat konten yang mengganggu lalu lintas, dan (6) berkendara dengan kendaraan yang tidak terigestrasi atau tidak dilengkapi dengan STCK (Surat Tanda Coba Kendaraan).

Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat