Pelajaran Berharga dari Kasus NWR dan Bahaya Kekerasan dalam Pacaran

ilustrasi kekerasan dalam pacaran. Gambar: ist.
ilustrasi kekerasan dalam pacaran. Gambar: ist.

Publik di Tanah Air terhenyak, sekaligus menangis pilu menyusul terkuaknya kasus dugaan eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi yang dilakukan Bripda RBHS kepada kekasihnya NWR. NWR, mahasiswi pendidikan Sastra Inggris, Universitas Brawijaya, Malang, secara tragis mengakhiri hidupnya di atas pusara sang ayah, karena depresi berat, tak kuat menanggung beban psikologis dan kekerasan yang dialaminya.


Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan,  kasus dugaan eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi yang dilakukan Bripda RBHS kepada kekasihnya NWR, merupakan bentuk kekerasan dalam pacaran.

Andy mengatakan, kekerasan dalam pacaran hampir selalu menempati urutan ketiga terbanyak dalam kasus kekerasan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan.

"Kasus NWR ini sesungguhnya merupakan salah satu kasus dalam pacaran yang banyak dilaporkan pada Komnas Perempuan dan lembaga pendamping," kata Andy, dalam konferensi pers virtual yang digelar pada Senin (6/12).

Selama kurun 2015-2020, kata Andy,  terdapat 12 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan kepada lembaga pendamping di 34 provinsi. Sebanyak 20 persen atau 2.400 kasus di antaranya merupakan kekerasan di ruang privat atau personal.

"Di kurun waktu yang sama ini kira-kira setiap tahunnya Komnas Perempuan menerima rata-rata 150 kasus kekerasan dalam pacaran yang dilaporkan," tutur Andy.

Menurut Andy, proses hukum kasus kekerasan dalam pacaran kerap kali berakhir buntu. Korban kerap diposisikan sebagai pihak yang salah karena hubungan pacaran yang ia miliki dan dianggap suka sama suka.

Dalam kasus pemaksaan aborsi yang dialami NWR, kata Andy, korban kerap kali ditempatkan sebagai pihak yang melakukan tindak kriminal. Sementara pihak laki-laki justru bisa melenggang pergi saja karena tidak terjerat oleh hukum.

Anggota Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menambahkan, NWR terjebak dalam siklus kekerasan dalam pacaran yang menyebabkannya terpapar pada tindak eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi. "Dia korban kekerasan yang bertumpuk dan berulang-ulang dalam hampir dua tahun sejak 2019," katanya.

Gangguan Kejiwaan

Selain berdampak pada kesehatan fisik, NWR juga mengalami gangguan kejiwaan karena merasa tidak berdaya, dicampakkan, disia-siakan, berkeinginan menyakiti diri sendiri dan didiagnosa obsessive compulsive disorder (OCD) serta gangguan psikosomatik lainnya.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI mencatat, 1 dari 3 perempuan di dunia mengalami kekerasan, baik berupa kekerasan fisik maupun kekerasan seksual (WHO, 2010). Bahkan 1 dari 4 perempuan di negara maju juga mengalami kekerasan hingga mencapai 25%. Di  negara-negara Afrika dan Asia, tingkat kekerasan terhadap perempuan paling tinggi yaitu sekitar 37%.

Kekerasan merupakan bentuk dari ketidakseimbangan antara peran perempuan dan laki-laki hingga menimbulkan dominasi dan diskrimasi yang akan menghambat kaum perempuan untuk maju. Ada beberapa jenis kekerasan yang dialami perempuan yaitu kekerasan fisik, kekerasan emosional atau psikis, kekerasan ekonomi hingga kekerasan pembatasan aktivitas. Dari berbagai kekerasan tersebut, jenis kekerasan yang paling banyak terjadi yaitu kekerasan seksual yakni 38%.

Dikutip dari situs resmi kemenpppa.go.id,  hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN), yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016,  diketahui 33,4% perempuan usia 15-64 tahun telah mengalami kekerasan fisik dan/atau kekerasan seksual selama hidupnya, dengan jumlah kekerasan fisik sebanyak 18,1% dan kekerasan seksual 24,2%.

Diantara banyaknya kasus kekerasan pada perempuan, tingkat kekerasan baik secara fisik dan seksual yang dialami perempuan belum menikah yaitu sebesar 42,7%. Kekerasan seksual paling banyak dialami perempuan yang belum menikah yaitu 34.4%, lebih besar dibanding kekerasan fisik yang hanya 19.6%. Angka tersebut membuktikan bahwa masih banyak perempuan yang belum menikah menjadi korban kekerasan, dimana pelaku bisa saja datang dari orang terdekat seperti pacar, teman, rekan kerja, tetangga, dsb. Namun jenis kekerasan ini bisa jadi dilakukan oleh orang asing yang bahkan tidak dikenal oleh korban.

Tingginya angka kekerasan ini menjadi perhatian masyarakat luas, apalagi angka kekerasan dalam hubungan pacaran bagi perempuan yang belum menikah cukup mengkhawatirkan belakangan ini.  Simfoni PPA Tahun 2016 menyebutkan bahwa dari 10.847 pelaku kekerasan sebanyak 2.090 pelaku kekerasan adalah pacar/teman.

Kekerasan dalam pacaran atau dating violence adalah tindak kekerasan terhadap pasangan yang belum terikat pernikahan meliputi kekerasan fisik, emosional, ekonomi dan pembatasan aktivitas. Kekerasan ini merupakan kasus yang sering terjadi setelah kekerasan dalam rumah tangga, namun masih belum begitu mendapat sorotan jika dibandingkan kekerasan dalam rumah tangga sehingga terkadang masih terabaikan oleh korban dan pelakunya.

Korban Kekerasan Cenderung Lemah

Pada kasus kekerasan dalam pacaran yaitu perempuan yang menjadi korban cenderung lemah, kurang percaya diri, dan sangat mencintai pasangannya. Banyak pasangan yang setelah melakukan kekerasan langsung berubah signifikan menunjukkan sikap menyesal, minta maaf, dan berjanji tidak akan melakukannya lagi, serta bersikap manis pada korban. Hal ini yang membuat perempuan akan terus memaafkan dan memaklumi sikap pasangannya serta kembali menjalani hubungan pacaran seperti sebelumnya. Padahal seseorang yang pada dasarnya gemar bersikap kasar pada pasangannya, akan cenderung mengulangi hal yang sama karena merupakan kepribadian dan sikap dalam menghadapi konflik atau masalah.

Berbagai dampak yang ditimbulkan dari kekerasan dalam pacaran diantaranya yaitu terjadi gangguan kesehatan dan psikis perempuan yang menjadi korban. Perempuan korban kekerasan fisik atau seksual dalam berpacaran berisiko mengalami keluhan kesehatan 1,5 kali lebih banyak. Dampak fisik bisa berupa memar, patah tulang, dan yang paling berbahaya dapat menyebabkan kecacatan permanen, sedangkan untuk dampak psikologis berupa sakit hati, jatuhnya harga diri, malu dan merasa hina, menyalahkan diri sendiri, ketakutan akan bayang-bayang kekerasan, bingung, cemas, tidak memercayai diri sendiri dan orang lain, merasa bersalah, memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi hingga munculnya keinginan untuk bunuh diri.

Selamatkan Anak-anak Kita

Pada kasus NWR, kita mengambil pelajaran yang sangat berharga, bahwa kasus kekerasan dalam pacaran, menjadi bahaya yang harus diwaspadai. Bagi orang tua, ini sekaligus menjadi peringatan agar lebih ketat lagi menjaga dan mengawasi anak-anaknya yang beranjak remaja dan tengah menjalani masa pacaran. Tentunya bukan larangan atau pembatasan yang berlebihan, namun orang tua diminta untuk banyak membimbing dan memberi rambu-rambu bagi anak-anak mereka mengenai batas-batas dalam berpacaran. Mana yang boleh, dan mana yang tidak seharusnya dilakukan di masa pacaran. Anak diberi pengertian dan pemahaman tentang tanggung jawab dan menjaga kesucian dalam berpacaran.

Kita tidak ingin kasus yang menimpa NWR akan menimpa anak kita. Tapi, jika kita tidak waspada, maka bukan tidak mungkin kasus semacam itu akan mengintai anak-anak kita. Maka, jangan lengah. Belajar dari kasus NWR, ini adalah pelajaran yang sangat mahal. Nyawa manusia sangat berharga di mata Tuhan, Sang Pencipta. Jangan biarkan direnggut sia-sia akibat kekerasan dalam pacaran. Mari, selamatkan anak-anak kita dari kekerasan dalam pacaran!