Semua komponen bangsa harus menyambut positif permintaan penegak hukum untuk pentingnya revitalisasi regulasi yang mengatur tentang pemberantasan terorisme.
- Kasus Koboi Jalanan Di Pantura Demak, Korban Pemilik Mobil Ditembak Kaget Tiba-tiba Ditodong Dan Terdengar Tembakan
- Fotonya Digunakan Untuk Modus Berikan Bantuan Hibah, Ini Pesan Rober Christanto
- Diduga Korupsi Rp200 Juta, Kades Godog Dilaporkan Ke Kejaksaan Sukoharjo
Baca Juga
Begitu dikatakan mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (15/5) sebagaimana dikutip dari Kantor Berita RMOL
Menurut dia, selama ini aparat kepolisian dibantu berbagai komponen telah bekerja baik untuk melindungi rakyat Indonesia.
"Namun belum bisa maksimal memberi jaminan keamanan ketertiban karena karena regulasi induk yang mengatur Anti Terorisme 15/2003 belum memberi kewenangan penuh baik pra, saat dan paska tindakan terorisme," jelas Pigai.
Dia menjelaskan, ada beberapa pasal penguatan yang perlu diperhatikan. Berikut rincian lengkapnya:
1). Kewenangan penuh bagi kepolisian untuk sadap. Lembaga intelijen negara tentu diperbolehkan untuk memasok informasi bagi aparat penegak hukum. Lembaga intelijen negara mesti menghindari keterlibatan langsung dalam proses penegakan hukum. Atau unit kepolisan uang menangani terorisme perlu diberi kewenangan penyadapan.
2). Surat penahanan dan bukti keterlibatan saat penangkapan tentu diperlukan karena merupakan prinsip umum dalam peradilan pidana (criminal justice system) di seluruh dunia. Meskipun demikian aparat perlu diberi kewenangan lebih fleksibel asal aparat mampu mempertahankan dan meyakinkan ke publik.
3). Perpanjang masa tahanan teroris dari 7 hari berdasarkan UU 15/2003 menjadi 14 dan 21 dalam RUU Anti Terorisme bisa dimaklumi asal ada pengawas internal dan eksternal ikut pantau ketika masa tahanan. saya usul demikian karena Guantanamo saja tidak 100 persen terisolir tetapi pemerintah USA lalukan pengawasan. Maka soal waktu penahanan tidak perlu diperdebatkan. Adanya kerisauan publik bahwa akan terjadi potensi pelanggaran HAM tentu bisa dikontrol apabila ada pengawasan internal dan eksternal berfungsi efektif tersebut.
4). Bagi Foreign Teroris Fighters atau para Eks Kombatam melalui pencabutan kewarganegaraan bisa saja dilakukan, namun mereka berpotensi menjadi warga tanpa negara (stateless). sebaiknya lebih dahulukan proses hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan hukum. Bahkan juga amanat UUD 1945 telah menegaskan perlindungan terhadap warga negara dan tanah tumpa darah.
5). TNI tidak perlu dilibatkan dalam menangani terorisme apalagi penegakan hukum yang merupakan ranah kepolisian. UU TNI bertugas untuk mempertahankan NKRI khususnya terhadap ancaman pertahanan (external securiti) penugasan luar negeri dan juga insurgensia domestik. Soal terorisme adalah ancaman keamanan (internal order) yang merupakan ranah penegak hukum.
6). Deradikalisasi bagi teroris dilakukan baik soal peningkatan kapasitas sosial ekonomi tapi juga merubah pemahaman doktrin dari boleh membunuh menjadi humanis dan toleran.
"Dengan demikian saya mendesak DPR dan Pemerintah harus merespons positif untuk mengesahkan RUU Anti Terorisme," tandas Pigai.
- Polres Batang Bekuk Kelompok Pembobol Toko Modern Antarkota
- KPK Fasilitasi Komnas HAM Telusuri Kerangkeng Manusia Bupati Langkat
- Parkir Di SPBU, Puluhan Dos Penyedap Rasa Raib