Rumah Sakit Bosnia Hadapi Krisis Kesehatan Mental

Pandemi Covid-19 di Bosnia telah menimbulkan krisis kesehatan mental terhadap para pasiennya.


Pekan lalu, seorang pasien di perawatan kesehatan Kota Banja Luka, Bosnia, melompat dari lantai lima gedung rumah sakit. 

Menjadikannya peristiwa bunuh diri kedua di fasilitas itu dalam minggu ini.

Kepala departemen Covid-19 Renata Tamburic, di University Clinical Center of Republika Srpska (UCCRS) di Banja Luka, kota terbesar di bagian negara Balkan yang didominasi Serbia, mengatakan bahwa pasien terakhir yang bunuh diri itu mengalami sakit parah dengan kanker stadium akhir dan juga menderita pneumonia karena virus corona, dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL.

Kesehatan pasien memburuk pada malam 3-4 Oktober. Pasien menggunakan ruangan staf yang pada saat itu jendelanya tidak terkunci dan melompat di sana.

Jika dihitung total, peritiwa bunuh diri di fasilitas itu telah terjadi sebanyak enam kali sepanjang 2021. Sebagian besar pasien melompat dari lantai di mana bangsal Covid-19 di rumah sakit itu berada.

Lima pasien bunuh diri dengan cara melompat, dan seorang pasien bunuh ditemukan gantung diri di toilet bangsal psikiatri.

Menurut data dari Universitas Johns Hopkins yang berbasis di AS, Bosnia-Herzegovina memiliki tingkat kematian virus corona tertinggi di Eropa sebesar 4,5 persen dengan 15 persen populasi negara itu divaksinasi penuh.

Bosnia, seperti banyak negara lain di dunia, sedang bergulat dengan penolakan vaksin dan keraguan vaksin.

Kasus bunuh diri berulang kali ini menandai kemungkinan krisis kesehatan mental yang dihadapi oleh pasien virus corona di Bosnia.

Kematian baru-baru ini adalah bunuh diri kedua di rumah sakit dalam beberapa minggu dan keenam tahun ini.

Salah seorang pasien, sebuat saja Nebo, yang ditemui Radio of Liberty (RL) mengatakan bahwa ia sangat terkejut dengan peristiwa berulang ini. Ia mengakui,  banyak pasien yang terganggu mentalnya ketika mendapat vonis ia menderita Covid-19 dengan penyakit penyerta yang parah.

Kasus bunuh diri itu mau tidak mau membuat pasien lainnya merasa tidak nyaman, dan secara mental juga ikut mempengaruhi.

Nebo mengatakan ia menyaksikan seorang pasien yang nampak kebingungan mencari kamarnya. Lorong di lantai lima khusus pasien Covid-19 sangat panjang. Pasien itu menyusuri lorong cukup lama, sampaki akhirnya ia dibantu perawat untuk kembali ke kamarnya.  

"Saya dapat melihat bahwa dia tidak dalam kondisi mental yang baik, karena dia tidak dapat menemukan jalan ke kamarnya," kata Nebo, yang dirawat di rumah sakit itu selama 21 hari.

Sebenarnya fasilitas itu bekerja dengan sangat baik dengan para staf yang ramah. Namun, kasus pasien Covid-19 yang meninggal setiap harinya, cukup mengganggu pasien lain secara mental.

"Saya bisa melihat sendiri kantong-kantong mayat, dan tas yang mereka tinggalkan di sana. Dokter berkata, 'mereka meninggal'," kisah Nebo.

Dalam delapan hari, tujuh orang meninggal. Pada hari kedelapan, delapan lagi meninggal, artinya total 15 orang meninggal. kisah Nebo. Pengalaman itu memengaruhinya secara psikologis.

Presiden Persatuan Dokter Medis Republika Srpska, Miodrag Femic, mengatakan kematian itu mengkhawatirkan.

"Sudah waktunya  mencari tahu mengapa ini terjadi dan untuk menyelamatkan nyawa orang-orang agar tidak terjadi lagi," katanya.

Perlu perhatian khusus terhadap profil psikologis seseorang saat menerima pasien. Penilaian harus dilakukan terhadap pasien yang tampak rentan dan mungkin berisiko bunuh diri.

Dokter dan pakar kesehatan di seluruh dunia telah memperingatkan tekanan mental dan psikologis pada pasien virus corona yang dirawat di unit perawatan intensif. Selain trauma fisik, pasien dihadapkan langsung dengan kenyataan kematian, terutama di rumah sakit yang penuh sesak dengan pasien.

Sayangnya, rumah sakit tersebut tidak menanggapi pertanyaan RL tentang berapa banyak pasien Covid-19 yang bunuh diridi fasilitas tersebut, atau berapa banyak dari mereka yang menerima terapi oksigen.

Pejabat rumah sakit juga tidak menjawab pertanyaan tentang tindakan apa, jika ada, yang mereka ambil untuk mencegah bunuh diri lebih lanjut.

Pada konferensi pers pada 4 Oktober, perwakilan UCCRS mengatakan bahwa "bunuh diri adalah sesuatu yang dihadapi rumah sakit di seluruh dunia."

Vlado Djajic, Direktur UCCRS, mengatakan: "Kalau ada 1.500 pasien di klinik, kami tidak bisa menempatkan satu petugas untuk satu pasien. Setiap hari ada psikolog, dokter, dan perawat yang mengawasi pasien kami," katanya.

Mengenai jendela yang terbuka yang membuat pasien melompat, Djajic berkata, "Bahkan jika jendela itu tidak dibuka di suatu tempat ... pasien mungkin telah menemukan cara lain untuk bunuh diri."