Konten kekerasan dan ekstremis masih bisa dijumpai di platform YouTube, demikian Anti-Defamation League (ADL) dalam studi terbarunya.
- Turki Putuskan Persidangan Jamal Khashoggi Ditransfer ke Arab Saudi
- India Fokus Isu Terorisme hingga Keamanan Maritim
- Pesan Paus Fransiskus : Jangan Menyakiti Tuhan dengan Meremehkan Orang Miskin
Baca Juga
Konten kekerasan dan ekstremis masih bisa dijumpai di platform YouTube, demikian Anti-Defamation League (ADL) dalam studi terbarunya.
Setidaknya, sebanyak sembilan persen pengguna masih bisa melihat konten semacam itu dari beberapa saluran bermuatan ekstremis.
Laporan itu menyebutkan, kendati telah ada upaya keras untuk menghapus konten bermuatan ekstremis dari platform YouTube, konten bermuatan ekstremis, supremasi kulit putih dan konten alternatif lainnya, ternyata tetap dapat diakses di platform tersebut.
"Penemuan menunjukkan perlunya platform bertindak untuk menghapus kelompok dan konten ekstremis brutal, termasuk teori konspirasi seperti QAnon yang memicu serangan 6 Januari di US Capitol,†kata laporan itu.
Dilansir Kantor Berita RMOL, Ketua ADL, Jonathan Greenblatt, mengatakan, sangat mudah bagi seseorang yang tertarik dengan konten eksremis untuk menemukan apa yang mereka cari di YouTube.
Sehingga perlu bagi platform tersebut mengambil tindakan lebih lanjut untuk memastikan bahwa konten ekstremis dihapus dari platform mereka.
"Jika tidak, maka mereka harus dimintai pertanggungjawaban ketika sistem mereka, yang dibangun untuk melibatkan pengguna, benar-benar memperkuat konten berbahaya yang mengarah pada kekerasan," ujar Greenblatt, seperti dikutip dari Times of Israel, Minggu (14/2).
Pada 2017, platform berbagi video Google mengambil sikap yang lebih tegas terhadap konten supremasi, dengan membatasi tindakan seperti berbagi, merekomendasikan, dan mengomentari klip bermuatan ekstremis.
Pada 2019, diumumkan bahwa mereka juga akan menghapus materi yang menyangkal Holocaust atau mengagungkan Nazisme. Belakangan platform terkemuka itu menindak penyebaran informasi yang salah dan teori konspirasi menjelang pemilihan presiden, dan memperluas upaya mereka setelah kerusuhan Capitol 6 Januari.
Sementara, YouTube melarang QAnon pada Oktober dan telah menindak akun yang memperkuat klaim tidak berdasar bahwa Trump memerangi musuh negara bagian dan kanibal yang mengoperasikan jaringan perdagangan seks anak.
Platform berbagi video itu juga membatalkan 'Bannon's War Room', saluran yang dijalankan oleh loyalis Trump, Steve Bannon, pada 8 Januari setelah ia menyebarkan klaim palsu dalam pemilu dan menyerukan pemenggalan Dr. Anthony Fauci, pakar penyakit menular terkemuka AS.
Selain itu, YouTube juga menghapus beberapa supremasi kulit putih terkenal dari platformnya tahun lalu, termasuk Nick Fuentes, Richard Spencer, dan David Duke. [sth]
- China Perluas Kekuatan Nuklir
- Perkenalkan ASEAN, KBRI Buenos Aires Kolaborasi Gamelan Jawa Dengan Musik Folklore
- Dua Atlet Afghanistan Hadiri Paralimpiade Tokyo dengan Penerbangan Rahasia