Bergabungnya putri mantan Presiden RI Soeharto, Siti Hediati Haryadi alias Titiek Soeharto ke Partai Berkarya dianggap keuntungan tersendiri bagi Partai Golkar.
- KPU Demak Laksanakan Rekapitulasi Tingkat Kabupaten Dengan Estimasi 2 Hari
- Cinta Bersemi Kembali? Kader NasDem Daftar Calon Wawali Salatiga Lewat Jalur Gerindra
- Perlindungan UMKM Tidak Cukup Hanya Tutup TikTok Shop
Baca Juga
"Mundurnya Titiek Soeharto harus disyukuri, sebab bisa mengurangi beban politik psikologis Partai Golkar yang mengusung tagline Golkar Bersih," tutur koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus kepada redaksi.
Oleh karena itu, menurut Advokat Senior Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ini, bergabungnya Titiek Soeharto ke Partai Berkarya adalah pertanda baik yang sangat menguntungkan Partai Golkar.
Petrus menilai, kini Partai Golkar bebas dari beban politik dan psikologis yang dipikul selama 20 tahun. Yakni, sejak dikeluarkannya TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN, tanggal 13 November 1998.
Mengapa? Menurut Petrus, karena selama Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto dan Partai Golkar, telah terjadi praktek pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab secara berlebihan pada presiden/mandataris MPR RI (Soeharto) yang berakibat tidak berfungsinya dengan baik lembaga tertinggi negara dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya.
"Serta tidak berkembanganya partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara," ujarnya.
Partai Golkar di bawah Airlangga Hartarto, lanjut dia, akan lebih leluasa mewujudkan amanat TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN dan TAP MPR RI Nomor VIII/MPR/2001 Tentang Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN, yang selama ini mengalami hambatan dalam pelaksanaannya.
"Itu dikarenakan selama ini masih kuatnya sisa-sisa kekuatan Orde Baru di dalam tubuh Partai Golkar. Sehingga secara psikologis dan politis berpotensi menghambat Partai Golkar dalam mewujudkan amanat kedua TAP MPR RI yang dibuat pada awal reformasi 1998 dan 2001, untuk mewujudkan tujuan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahterakan rakyat melalui Pencegahan dan Pemberantansan KKN," jelasnya.
Pasal 4 TAP MPR RI Nomor : XI/MPR/1998 tertanggal 13 November 1998, menyatakan Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto, dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak hersalah dan hak-hak asasi manusia".
Artinya, lanjut dia, reformasi telah mengamanatkan perlunya pemberantasan KKN terhadap siapapun tanpa pandang bulu, termasuk terhadap mantan Presiden Soeharto dan kroninya.
Namun, pada kenyataannya, menurut Petrus, sejak dikeluarkannya TAP MPR RI Nomor XI/MPR/1998, Tanggal 13 November 1998 hingga sekarang, proses hukum terhadap pejabat Orde Baru termasuk mantan Presiden Soeharto dan kroninya tidak tuntas.
"Hanya dilakukan setengah hati, bahkan hingga Soeharto meninggal dunia, tidak tuntas," kata Petrus.
Di satu pihak, Partai Golkar harus menjalankan amanat reformasi sebagaimana dimaksud dalam TAP MPR RI Nomor: XI/MPR/1998, tertanggal 13 November 1998 tanpa pandang bulu, namun pada sisi yang lain partai berlambang beringin itu tidak dapat secara sungguh-sungguh dan konsisten mendorong pelaksanaan pasal 4 TAP MPR RI Nomor : XI/MPR/1998, Tanggal 13 November 1998 tersebut.
"Karena di sana ada putra putri mantan Presiden Soeharto dan kroninya masih menjadi pimpinan di Partai Golkar bahkan di DPR," katanya.
- Bawaslu Demak Gandeng Kominfo Dorong Pemilih Pemula Jadi Pengawas Partisipastif
- Timses Caleg Golkar Kota Semarang Lapor Bawaslu, Ada Dugaan Pergeseran Suara di PPK Tembalang
- Satria, Sayap Partai Gerindra Salatiga, Siap Antar Sudaryono Jadi Jateng-1