Wahid Fondation Sebut Gagasan Program Aksi Damai dan Responsif Gender Dinilai Berhasil

Wahid Fondation mengadakan kegiatan workshop Penyusunan Rencana Aksi Desa/Kelurahan Damai dan Responsif Gender yang diikuti oleh 104 peserta dari 4 kota dan Kabupaten Jawa Tengah.


Pelaksana Workshop, Fanani mengatakan penyusunan rencana strategi dan aksi ini diharapkan bisa menjadi salah satu media dalam proses integrasi antar multi pihak, baik dari unsur institusi atau organisasi yang berbasis masyarakat akar rumput.

"Jadi CSO/NGO, ataupun dari pemerintah secara struktural. Karena isu ini, sebagaimana isu lain, tentunya akan bisa diimplementasikan secara masif ketika diusung oleh multipihak tersebut," kata Fanani, Rabu (31/5).

Dia menyampaikan proses panjang yang sudah dilakukan Wahid Foundation dan Pemerintah Desa atau Kelurahan dalam program Desa Damai telah memberikan dampak, baik dalam konteks paradigma ataupun sikap dan perbuatan. 

"Misal gaya becandaan yang mulai berubah, dan tidak lagi melihat tubuh perempuan sebagai obyek seksualitas belaka, ataupun malah sudah ada yg mulai turut speak up (sosialisasi) terkait isu-isu Kekerasan Berbasis Gender (KBG) dan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)," bebernya.

Terkait dengan kasus yang pernah ditangani atau aduan korban yang diselesaikan para peserta, Fanani mengaku sudah ada banyak pembelajaran yang telah dilakukan oleh tim Women Crissis Centre (WCC) di masing-masing desa dengan menyesuaikan dinamika d masing-masing desa tersebut. 

"Misalnya ada WCC di desa Tingkir Salatiga yang kemudian menjadi wadah bagi korban KBG," jelasnya.

Pendampingan kasus tersebut, lanjut Fanani, berlanjut pada proses pengadilan dan menghasilkan keputusan hukum. Pada tahapan selanjutnya, Tim WCC ini juga berperan pada proses pemulihan psikis korban.

"Di desa lain, misalnya, ada peran pemantauan dari tim WCC terhadap kondisi korban dalam proses penanganan kasus KBG dan TPKS," ungkapnya.

Kepala Bidang Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan DP3A2KB Jateng, Sri Dewi Indrajati menyampaikan bahwa sebenarnya di setiap Kabupaten dan Kota, telah memiliki perangkat kerja pelayanan korban dan aduan kekerasan seksual. 

"Namun yang perlu dikuatkan adalah kualitas SDM untuk peka terhadap pelayanan korban serta pemahaman masyarakat terkait UU TPKS," terang Sri. 

Sri sendiri mengatakan pihaknya memang sedang menyerap masukan-masukan dari masyarakat untuk didalami dan usulkan ke pusat agar terbentuk peraturan pemerintah (PP) terkait UU TPKS. 

"Maka kepekaan masyarakat penting untuk kami terima. Tentunya masyarakat yang  faham dengan isu-isu kekerasan seksual," tandasnya.