Seorang wanita di Kota Pekalongan mengaku menjadi korban penipuan pembelian tanah kavling yang melibatkan seorang notaris. Tanah kavling yang sudah dibayar lunas ternyata berstatus terblokir alias tidak bisa diproses sertifikatnya.
- Gelombang PHK Industri Tekstil Mampir Kota Pekalongan, Pemkot : Hanya Ada Satu Perusahaan
- Bakal Doa Bersama, Nasabah BMT Mitra Umat Pekalongan: Semoga Masih Punya Hati Nurani
- Nasib Tragis Nasabah BMT Mitra Umat, Sholeh Meninggal di Saat Butuh Cairkan Simpanannya
Baca Juga
Keponakan Kadar, MR (25), telah membayar lunas tanah kavling sebesar Rp 60 juta yang dibayar dalam dua kali pembayaran.
"Keponakan saya ini sudah membayar lunas tanah kavling tersebut sebesar Rp 60 juta yang dibayar dua kali, pembayaran pertama berupa uang panjar sebesar Rp 10 juta dan selang sehari dilunasi Rp 50 juta," ungkap Kadar (52), paman korban, pada Senin, 22 Juli 2024.
Kadar menjelaskan bahwa pelunasan pembayaran tanah kavling dilakukan di hadapan notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di Jalan Jendral Sudirman, Kota Pekalongan. Selain itu, terdapat bukti dua kuitansi lunas yang dibubuhi tanda tangan serta stempel oleh notaris tersebut.
Panjar pembelian tanah kavling yang berlokasi di Kelurahan Kertoharjo, Kecamatan Pekalongan Selatan itu dilakukan pada 17 Januari 2024 sebesar Rp 10 juta, dan pelunasan dibayarkan pada 18 Januari 2024.
Setelah pembayaran lunas, pihak notaris menjanjikan bahwa sertifikat tanah bisa diambil pada bulan Juni atau Juli 2024. Namun, saat didatangi, mereka malah diberitahu bahwa tanah kavling tersebut sudah terblokir.
"Kami bolak-balik empat kali ke sana jawabannya tetap sama," jelas Kadar.
Merasa tidak ada niat baik dari pihak notaris atau PPAT, pihaknya resmi mengadukan dan menguasakan persoalan hukum ini kepada LBH Adhyaksa. Belakangan, diketahui bahwa korban bukan hanya keponakannya saja, namun ada beberapa orang lainnya yang juga mengalami nasib serupa.
Terpisah, notaris sekaligus PPAT Darosy Ernya Meigafatma sempat membantah bahwa uang Rp 10 juta tersebut adalah panjar atau uang muka. Ia menyebut bahwa uang itu sebagai biaya mengurus sertifikat.
"Saya nggak nerima yang Rp 60 juta karena sudah diserahkan ke Pak Firdaus (pengelola tanah kavling)," katanya.
Didik Pramono, Direktur LBH Adhyaksa yang menjadi kuasa hukum MR, menyatakan bakal melaporkan kasus dugaan penipuan ini ke polisi. Ia menegaskan bahwa hasil klarifikasi tidak menemukan titik temu.
"Yang bersangkutan masih bersikukuh hanya mau mengembalikan uang muka seperti yang tertulis di kuitansi. Bahkan, untuk menutupi kesalahan, tiba-tiba mengeluarkan bukti kuitansi yang berbeda atau berubah isi karena di situ tertulis 'titip biaya sertifikat', namun fatalnya tanggal dan tahun berbeda yakni 18 Desember 2024. Artinya, kuitansi tersebut palsu lantaran peristiwa hukumnya dimulai 17-18 Januari 2024. Jadi karena gugup, yang bersangkutan diduga berusaha memalsukan kuitansi, sayangnya malah makin menunjukkan kecerobohan," jelas Didik.
Kasus ini menunjukkan betapa rentannya masyarakat terhadap praktik penipuan dalam transaksi properti, terutama yang melibatkan pihak-pihak yang seharusnya terpercaya seperti notaris. Korban berharap agar keadilan dapat ditegakkan dan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam melakukan transaksi serupa di masa depan.
LBH Adhyaksa telah berkomitmen untuk membawa kasus ini ke ranah hukum, berharap agar ada tindakan tegas terhadap pelaku dan agar kejadian serupa tidak terulang.
"Kami akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas, dan memastikan bahwa pelaku penipuan ini mendapatkan hukuman yang setimpal," tegas Didik Pramono.
- Gelombang PHK Industri Tekstil Mampir Kota Pekalongan, Pemkot : Hanya Ada Satu Perusahaan
- Bakal Doa Bersama, Nasabah BMT Mitra Umat Pekalongan: Semoga Masih Punya Hati Nurani
- Nasib Tragis Nasabah BMT Mitra Umat, Sholeh Meninggal di Saat Butuh Cairkan Simpanannya