Asosiasi Klaim Fintech Cocoknya Buat UMKM

Kehadiran layanan keuangan digital atau financial technology (fintech) bagai buah simalakama. Satu sisi, kehadiran fintech menjadi alternatif bagi masyarakat yang ingin cepat memperoleh dana. Namun di sisi lain, fintech bak rentenir, yang bisa menjerat nasabahnya dengan bunga selangit, yaitu mencapai 35 persen.


Menurut Pengamat Teknologi Informasi Heru Sutadi, perlu ada perspektif berbeda dari kegia­tan keuangan yang selama ini dijalankan fintech. Peer to Peer (P2P) lending, misalnya, adalah proses pembiayaan biasa yang terjadi di perbankan. Perbedaan­nya hanya ada pada prosesnya menjadi lebih cepat.

"Lantas? Apakah kita menye­but (fintech) sebagai rentenir? Kan tidak. Sepanjang itu trans­paran dan peminjam suka atau setuju, mengapa tidak? Bahkan yang meminjamkan kan sebe­narnya juga berisiko duit mereka tidak dikembalikan," terang Heru.

Untuk itu Heru mengimbau, agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu berhati-hati dalam menanggapi keuangan model baru. "Dan berpikir out of the box sesuai zaman sekarang," katanya.

Ekonom dari Institute for Develepoment of Economin and Finance (Indef) Bhima Yudistira Adhinegara mengakui, pesatnya perkembangan fintech di Tanah Air memang tidak bisa dibendung. Bahkan ada yang berang­gapan, lambat laun kehadiran fintech akan menggantikan per­anan perbankan.

"Sebenarnya kehadiran fintech bukan ancaman. Mereka sebe­narnya bisa membantu industri perbankan jika mereka (fintech & perbankan) berkolaborasi," imbuhnya.

Setidaknya ada tiga strategi yang bisa dilakukan perbankan untuk menghadapi gempuran fintech, yaitu dengan cara inkubasi, akui­sisi dan kolaborasi. "Kalau akuisisi mahal, ya paling murah kolaborasi. Dengan begitu mereka kan bisa jalan sendiri-sendiri tapi bisa tetap bekerja sama," kata Bhima.

Karena jika fintech tetap di­anggap sebagai kompetitor, lan­jut Bhima, maka intensitas per­saingan berpotensi menggerus profitabilitas perbankan. Seba­liknya, jika dirangkul, sinergi akan berpotensi meningkatkan penetrasi pasar, produk baru dan jangkauan yang meningkatkan profitabilitas (laba).

Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), Adrian Gunadi bilang, mau tidak mau me­mang harus diakui, fintech terus mengalami perkembangan pesat. Di tahun ini saja, jumlah perusa­haan fintech yang ada di Indonesia tumbuh hampir 10 kali lipat atau sebanyak 135 perusahaan yang tergabung dalam asosiasi.

Dari jumlah tersebut, ada seki­tar lima sektor fintech yang berdiri yakni payment lending, capital market, market profesion­ing (agregator) dan insurance. Perkembangan pesat fintech juga terlihat dari positifnya kinerja dari fintech. Hingga Januari 2018 lalu saja, pertumbuhan volume bisnis mencapai Rp 3,5 triliun.

"Perkembangan pesat fintech tidak terlepas dari beberapa fak­tor. Mulai dari inklusi keuangan yang masih rendah, hingga in­frastruktur telekomunikasi yang sudah berubah dalam lima tahun terakhir," ucapnya.

Rendahnya inklusi keuangan dari masyarakat, kata Adrian, membuat fintech jadi alternatif. Karena melalui fintech, masyarakat akhirnya bisa menge­tahui dan terdaftar namanya sebagai nasabah. Selain itu, faktor lainya adalah masih ada kredit gap khususnya bagi para pengusaha usaha menengah ke­cil dan mikro (UMKM).

"Terbatasnya akses perbankan membuat para pelaku UMKM mencari pembiayaan lain, salah satunya adalah dengan fintech," ujarnya.

Selanjutnya adalah, Indonesia memiliki bonus demografi yang sangat luar biasa. Jumlah pen­duduk Indonesia saat ini merupa­kan yang terbanyak nomor empat di dunia. Kemudian, faktor perkembangan teknologi komu­nikasi. Menurutnya, perkembangan teknologi dengan adanya internet menjadikan fintech semakin berkembang pesat.

"Fintech sendiri bisa diakses melalui handphone maupun laptop atau PC yang terhubung dengan internet. Tanpa itu, fin­tech tidak akan bisa sebesar ini," tutur Adrian.