CELCJ UI Menolak Mentah-Mentah Wacana Pengusahaan Pertambangan Oleh Perguruan Tinggi

Pusat Studi Hukum Lingkungan Dan Keadilan Iklim (Atau Center For Environmental Law And Climate Justice) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Mengeluarkan Pernyataan Penolakan Terhadap Wacana Pengusahaan Pertambangan Oleh Perguruan Tinggi Pada Selasa, (04/02). Istimewa
Pusat Studi Hukum Lingkungan Dan Keadilan Iklim (Atau Center For Environmental Law And Climate Justice) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Mengeluarkan Pernyataan Penolakan Terhadap Wacana Pengusahaan Pertambangan Oleh Perguruan Tinggi Pada Selasa, (04/02). Istimewa

Depok - Pusat Studi Hukum Lingkungan dan Keadilan Iklim (atau Center for Environmental Law and Climate Justice) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) menolak wacana pengusahaan pertambangan oleh perguruan tinggi yang disisipkan sebagai sebuah klausul baru di dalam perubahan ke empat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.


Lembaga itu juga mengajak seluruh sivitas akademika baik di Universitas Indonesia mau pun Universitas lain di Indonesia untuk menolak pelibatan perguruan tinggi dalam pengusahaan pertambangan.

Di dalam rilisnya pada Selasa (04/02) kepada redaksi RMOLJawaTengah, Lembaga Riset Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) tersebut menyatakan bahwa universitas adalah sebuah institusi riset dan bukan institusi tambang.

Penolakan ini berkaitan dengan usulan ketentuan baru yaitu Pasal 51 A di dalam rancangan undang-undang yang membuka peluang kepada perguruan tinggi untuk menerima Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP).

Pasal 51A dari Rancangan Undang-Undang Minerba itu menyatakan bahwa “WIUP Mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas”.

Pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) terhadap perguruan tinggi diklaim sebagai “penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 [...] untuk memberikan kepastian hukum dalam kegiatan pengelolaan dan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara bagi pelaku usaha di bidang mineral dan batubara.”

Dengan premis di atas, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyepakati perubahan ini dan menjadikan Rancangan Undang-Undang (RUU) ini sebagai rancangan undang-undang usul inisiatif DPR

Penolakan CELCJ FHUI itu memiliki beberapa dasar:

Pertama, sejatinya universitas adalah Universitas magistrorum et scholarium yakni universitas adalah tempat di mana para cendekia berjumpa untuk meneliti dan meningkatkan kapasitas individual pada disiplin ilmu masing-masing.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi secara tegas mengatur sebuah perguruan tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.

Kedua, alasan melibatkan universitas dalam pengusahaan pertambangan adalah sebuah inisiatif yang kontraproduktif dengan situasi terkini perguruan tinggi di Indonesia. Hasil penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan bahwa setidaknya 8 dari 10 guru besar di Indonesia pernah menerbitkan artikel di jurnal predator. Belum lagi kualitas universitas di Indonesia yang hanya menempatkan 8 dari 3.277 perguruan tinggi pada pemeringkatan 1.000 universitas terbaik di dunia tahun 2025 berdasarkan QS World Ranking.

Ketiga, pertimbangan aspek lingkungan dan sosial dalam tata kelola tambang seringkali hanya berhenti pada level formalitas dengan pendekatan teknokratik–utamanya dalam bentuk AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Hal ini berakibat pada bukan saja pada munculnya pencemaran dan perusakan lingkungan, tetapi juga diabaikannya hak masyarakat dalam kegiatan pertambangan.

CELCJ FHUI secara kolektif mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk membatalkan usulan Pasal 51A Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) dan seluruh pasal yang berpotensi memberikan perguruan tinggi WIUP mau pun rezim perizinan lainnya serta membuka ruang partisipasi publik selama proses rancangan perubahan terhadap UU Minerba ini berjalan.