Cerita Nelayan : Pakai Smartphone, Tri Bahagia Dengar Suara Anak di Tengah Laut Jawa

Tri Asmoro (40), seorang nelayan di pesisir utara jawa, tepatnya di Kabupaten Batang, tidak pernah membayangkan benda sekecil smartphone bisa mengubah lingkungan komunitasnya.


Pada saat mengawali profesi sebagai nelayan pada 23 tahun lalu, ia bercerita teknologi informasi belum sesakti sekarang ini.

"Saya bilang sakti karena sekarang saat melaut bisa dengar suara anak dan istri. Dulu melaut tidak pegang smartphone, sekarang semua nelayan rata-rata punya," katanya mengawali cerita, Sabtu (21/8).

Warga kelurahan karangasem utara, kecamatan Batang itu mengenang pada awal menjadi nelayan.

Ketika itu, setiap kali melaut berarti meninggalkan keluarga dengan berbagai risikonya, semisal tenggelam dan sebagainya.

Satu-satunya jalur komunikasi waktu itu adalah interkom yang berada di ruang nahkoda. Itupun hanya nyala pada waktu tertentu.

"Kalau Anak Buah Kapal (ABK) seperti saya ya bisanya kerja, kalau pas tidak nangkap ikan (istirahat) biasanya untuk guyon dan tidur," ucapnya.

Sekali melaut, Tri Asmoro menghabiskan waktu sebulan hingga dua bulan terapung di tengah laut jawa.

Melaut Pakai Smartphone

Pada pertengahan 2000-an, ponsel dan jaringan internet mulai meluas. Lambat laun, dirinya dan para nelayan pun mulai berinteraksi dengan perkembangan teknologi.

Hingga akhirnya, ia pun membeli smartphone untuk aktivitasnya sehari-hari, termasuk melaut. Diakuinya, jaringan telekomunikasi di tengaj laut tidak selalu ada.

"Kadang mulai dari 10 mille sinyal mulai naik turun, kalau sudah tengah laut lepas (untuk kapal besar antarpulau) tidak ada sinyal," tutur ayah satu anaknya.

Tapi jika sudah dekat sebuah pulau, maka sinyal akan kembali muncul. Ketika itulah para ABK memanfaatkan waktu untuk berkomunikasi dengan daratan

Ia ingat ketika berada di dekat kepulauan Karimunjawa, demi mendapat sinyal, teman-temannya bergantian naik tiang kapal. Hal itu menjadi momen kocak setiap kali berlayar.

"Benar-benar rasanya luar biasa ketika di tengah laut bisa mendengar suara anak. Semangat jadi tambah," tuturnya.

Tidak hanya secara pribadi, perkembangan teknologi itu juga membantu pelayaran. Dulu, ketika berlayar hanya bermodal kompas manual, kini bisa melihat posisi melalui satelit.

Bahkan, kadang hanya menggunakan smartphone bisa melihat posisi terakhir dan kepulauan terdekat. Lalu, komunikasi dengan teman-temannya ketika sedang butuh bantuan pun lebih lancar.

"Misal ketika ada kapal atau perahu butuh tambahan ABK, cukup komunikasi lewat smartphone bisa saling bantu," ujarnya.

Ubah Gaya Hidup

Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Batang, Teguh Tarmudjo mengakui teknologi informasi membuat gaya hidup nelayan berubah.

"Kalau dulu, ketika melaut, nelayan benar-benar terisolasi dari daratan baik secara fisik maupun informasi," tuturnya.

Hal yang paling susah ketika di tengah laut ketika nelayan sakit di tengah laut. Kru kapal hanya bisa mengandalkan konektivitas interkom dengan kapal lain.

Lalu, para nelayan juga minim informasi perkembangan di daratan. Tidak ada asupan informasi yang masuk ketika melaut.

"Akhirnya, ketika sampai di darat,maaf, mungkin untuk pelampiasan, setelah jual ikan, hasilnya untuk minum-minuman (keras). Dulu juga sering tawuran di kawasan nelayan sini," tuturnya.

Kini, ia melihat perubahan besar dalam gaya hidup nelayan Batang. Teguh menilai nelayan sekarang ini jauh lebih cerdas.

Warga kelurahan Proyonanggan Utara itu menyebut asupan informasi para nelayan di lautan sekarang sama seperti daratan. Tidak ada lagi 'gap' informasi antara laut dan darat.

Sekarang sudah jarang ia mendengar para nelayan muda berkumpul untuk mabuk-mabukkan. Sebagai gantinya, para nelayan muda memilih nongkrong di spot populer yang viral di media sosial.

Buktinya?mereka tidak ketinggalan informasi adalah  saat ada penawaran rumah bersubsidi, para nelayan yang melaut intens berkomunikasi dengan istrinya di daratan. Mereka turut mengambil keputusan meski dari jarak jauh.

Ia menyebut di Batang ada 10.331 nelayan, mayoritas berusia produktif antara 20-40 tahun. Hampir seluruhnya punya smartphone.