DBD Ancam Sukoharjo, Semester 1 Capai 410 Kasus

Periode Januari-Juni 2022  tahun 2022, Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Sukoharjo mencatat 410 kasus demam berdarah dengue (DBD) di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.


Dari temuan ratusan kasus DBD tersebut tercatat 56 pasien mengalami dengue shock syndrome (DSS) atau komplikasi infeksi DBD dengan risiko kematian tinggi. 

“Semester 1 tahun ini angka DBD cukup tinggi. Dari total 56 kasus DSS, 7 orang pasien di antara meninggal dunia. Data itu berdasarkan catatan temuan kasus hingga pekan 22 selama 2022,” kata Kepala DKK Sukoharjo, Tri Tuti Rahayu, Selasa (5/7/2022).

Diketahui selama tahun 2021 ditemukan 222 kasus DBD di Kabupaten Sukoharjo. Dari temuan ratusan kasus DBD tersebut 11 pasien di antara meninggal dunia. Dari 222 kasus itu sebanyak 27 kasus merupakan DSS. 

Tuti mengatakan kasus kematian akibat DBD di Kabupaten Sukoharjo paling banyak ditemukan di Kecamatan Grogol. Angka kematian mencapai tiga orang. 

Disusul, Kecamatan Baki dua orang, Kecamatan Kartasura dan Nguter masing-masing satu orang.

“Kasus DBD meningkat dibandingkan dengan tahun lalu karena faktor iklim dan perilaku masyarakat dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk. Kasus DBD mulai menurun seiring dengan mulai masuk musim kemarau,” imbuh dia.

Data lain menyebutkan temuan kasus terbanyak tercatat berada di wilayah perkotaan, seperti Kecamatan Grogol 74 kasus dan Baki sebanyak 63 kasus. 

Temuan kasus DBD lainnya di Sukoharjo Kota sebanyak 57 kasus, Polokarto 53 kasus, disusul Kartasura 41 kasus. Temuan paling rendah di Kecamatan Weru sebanyak lima kasus.

Hingga kini pihaknya terus melakukan antisipasi penanganan kasus DBD di Sukoharjo. Di antaranya, melakukan Pemantauan Jentik oleh Kader Pemantau Jentik di daerah endemis. 

Selain itu, menggerakan masyarakat untuk PSN melalui G1R1J atau Gerakan 1 rumah 1 Jumantik dengan penerapan minimal satu orang peduli PSN di setiap rumah dan lingkungan masing-masing.

Lebih lanjut, abatisasi selektif pada tandon air yang tidak memungkinkan dikuras. Pelaksanaan itu melibatkan kader jumantik. Penyelidikan epidemiologi dalam waktu 1 x 24 jam setiap ada kasus dilakukan untuk menentukan sumber penularan dan tindakan penanggulangan.

Penanggulangan fokus di daerah-daerah yang ditentukan berdasarkan analisa hasil penyelidikan epidemiologi di 20 rumah sekitar indeks kasus. 

Hal itu dilakukan karena terjadi transmisi penularan setempat. Fogging juga dilakukan sebanyak dua siklus dengan menggunakan insektisida yang masih efektif untuk vektor DBD berdasarkan uji resistensi insektisida di Kabupaten Sukoharjo.

“Sosialisasi dan edukasi ke masyarakat melalui sosmed, website, radio, leaflet. Penyuluhan setempat sebagai pengendalian vektor secara biologi dengan memelihara ikan, tanaman pengusir nyamuk, memasang ram nyamuk, tidak menggantung pakaian di kamar, dan lainnya,” imbuhnya.

Kepala Puskesmas Sukoharjo, dr Kunari Maharani, meminta masyarakat meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit DBD saat musim pancaroba. Dia menyebut ada tiga kelurahan di wilayahnya yang terbilang tinggi kasus DBD yakni Gayam, Joho, Sukoharjo. 

"Faktor tinggi kasus DBD di perkotaan karena kepadatan jumlah penduduk, selain itu juga karena faktor cuaca,” jelas dr Kunari saat lokakarya linsek Puskesmas Sukoharjo di Favehotel Solo Baru.

Dia menambahkan Kelurahan Jetis menjadi wilayah dengan minim penularan. Hal itu karena rutin mengadakan grebeg jentik selama sebulan sekali. 

Dia juga menyebut PSN lebih efektif dibanding fogging. Kader jumantik yang ada di masing-masing kelurahan juga selalu dikerahkan untuk PSN. 

Masing-masing kelurahan/desa memiliki lima kader jumantik yang sudah dilantik bidan desa.