Demi Keadilan Prajurit, Panglima TNI Diminta Segera Terapkan PTUM

Panglima TNI Diminta segera menerapkan Peradilan Tata Usaha Militer (PTUM). Sejak diundangkan 1997 silam, hingga kini PTUM belum sekalipun diterapkan.


Panglima TNI Diminta segera menerapkan Peradilan Tata Usaha Militer (PTUM). Sejak diundangkan 1997 silam, hingga kini PTUM belum sekalipun diterapkan.

Peradilan Tata Usaha Militer yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dalam kenyataannya tidak bisa berjalan dengan baik sebagaimana diamanatkan Undang-undang karena terkendala oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Di dalam Pasal 353 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer diamanatkan bahwa mengenai Hukum Acara Tata Usaha Militer, penerapannya diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak Undang-undang tersebut diundangkan, tepatnya tiga tahun dari tanggal 15 Oktober 1997.

Dengan demikian, seharusnya paling lambat tanggal 15 Oktober 2000 Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Penerapan Pengadilan Tata Usaha Militer sudah terbentuk.

Namun demikian, setelah 21 tahun berlalu sejak tenggang waktu tersebut berakhir, belum ada tanda-tanda sedikitpun yang dapat memberi harapan bahwa Pengadilan Tata Usaha Militer dapat menggelar persidangan yang jujur dan transparan kepada para pencari keadilan.

"UU No 31/1997 diundangkan pada tanggal 15 Oktober 1997, maka sesuai perintah UU tanggal 15 Oktober 2000, hukum acara PTUM sudah diberlakukan, tapi nyatanya sampai saat ini belum ada tanda-tanda keseriusan pejabat TNI yang berwenang untuk merealisasikan perintah UU tersebut, maka saya minta Panglima TNI segera merealisasikan perintah UU untuk menerapkan PTUM," tegas advokat Kantor Ketaren, kepada RMOL Jateng, Sabtu (20/3).

Pengamat hukum militer yang juga purnawirawan perwira menengah TNI AD itu menyatakan, adanya Peradilan Tata Usaha Militer sangat bermanfaat bagi siapa saja yang memiliki hubungan pekerjaan dengan pejabat tata usaha militer. Prajurit, PNS Kemhan, Purnawirawan atau pensiunan PNS Kemhan, Suplayer ke institusi TNI, dan lainnya. Jika pejabat TUM membuat keputusan (beschikking) yang merugikan dapat digugat PTUM.

"Oleh karena PTUM belum dioperasikan dan masih menunggu PP yang belum terbit, mengakibatkan pejabat TUM sakti, karena keputusan mereka tidak dapat dipersengketakan atau diuji di pengadilan karena pengadilan yang existing tidak berwenang," ujarnya.

Menurut Kantor, tanpa adanya PTUM yang merupakan salah satu kewenangan pada Pengadilan Militer Tinggi untuk tingkat pertama, dan Pengadilan Militer Utama untuk tingkat banding sangat merugikan siapa saja, khususnya prajurit TNI dan PNS Kemhan.

"Karena atasan dapat sewenang-wenang memberhentikan jabatan personel, bahkan sampai melakukan pemecatan tanpa tersentuh hukum administrasi. Dengan kata lain, kebenaran keputusan TUM tidak dapat diuji di pengadilan. Saya salah satu korban kesewenang-wenangan Pangdam lV/Diponegoro kala itu. Ketika saya gugat di Pengadilan Negeri sebagai bentuk perbuatan melawan hukum, oleh PN Semarang sampai kasasi dinyatakan NO (Niet Otvankelijke verklaard) atau gugatan tak dapat diterima karena cacat formil," ungkapnya.

Kantor lebih jauh mengatakan, prajurit sangat dirugikan dalam memperjuangkan keadilan bila berhadapan dengan keputusan sewenang-wenang pejabat TUM, sebab tidak ada lembaga peradilan yang berwenang untuk mengadilinya.

"Pejabat TUM sangat sakti. Hal berbeda dengan pejabat sipil yang semua keputusannya dapat diperiksa dan diadili di PTUN. Dapat diasumsikan Pejabat TUM berpangkat Perwira Menengah ke atas sehingga peradilannya dilekatkan pada Pengadilan Militer Tinggi yang mengadili subjek hukum militer berpangkat Mayor ke atas," ungkap advokat yang kini berkantor di KSP Law Firm Jakarta ini.

Dikatakan, hak hukum prajurit akibat kesewenang-wenangan pejabat TUM sangat tidak terlindungi, karena kewenangan mengadili ada pada PTUM, tetapi peradilannya belum operasional alias tidak ada.

"Yang mengherankan, personel kepaniteraan PTUM sudah lama terisi meskipun peradilannya tidak ada. Apakah ini sekadar untuk mencari jabatan?" ujarnya.

Fakta ini, menurut Kantor, adalah sebuah ironi karena Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut paham Negara Hukum, seharusnya mendorong terwujudnya jaminan perlindungan hak asasi manusia lewat penyelenggaraan peradilan administrasi untuk menyelesaikan masalah yang timbul dari kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan yang dilakukan oleh Pejabat Tata Usaha Militer yang tidak sesuai dengan hukum dan asas-asas pemerintahan yang baik. [sth]