KPK Ingatkan Modus Korupsi Kepala Daerah

Direktur Koordinasi Supervisi III Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Brigjen Pol Bahtiar Ujang Purnama, saat rakor tipikor secara virtual. / RMOL Jateng
Direktur Koordinasi Supervisi III Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Brigjen Pol Bahtiar Ujang Purnama, saat rakor tipikor secara virtual. / RMOL Jateng

Direktur Koordinasi Supervisi III Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Brigjen Pol Bahtiar Ujang Purnama mengingatkan lima modus korupsi kepala daerah. Hal itu disampaikan dalam Rakor (virtual) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang digelar KPK dan diikuti Gubernur Jateng Ganjar Pranowo serta para kepala daerah se-Jateng, Rabu (8/9).


Lima modus tersebut, jelas Bahtiar, pertama, mengenai Penerimaan Daerah, diantaranya pajak daerah dan retribusi, pendapatan daerah dari pemerintah pusat dan kerjasama dari pihak ketiga. Kedua, Belanja Daerah, diantaranya : pengadaan barang dan jasa, penempatan dan pengelolaan kas daerah, pelaksanaan hibah/bansos/program, penempatan modal Pemda di BUMD, dan pengelolaan aset.

“Terkait pengadaan barang dan jasa, silahkan cek kembali. Terkadang ‘itu-itu saja’, atau benderanya beda tapi orangnya (pemenang lelang) masih ‘itu-itu saja’, karena sudah jadi mafia barang dan jasa. Ini sudah kita analisis, baik di Jawa Timur maupun di Jawa Tengah,” kata  Bahtiar.

Ketiga, benturan kepentingan, diantaranya menyangkut pengadaan barang dan jasa, rotasi/mutasi/promosi, rangkap jabatan. Keempat, perizinan, diantaranya rekomendasi, penerbitan perizinan, dan pemerasan. Kelima, Penyalahgunaan wewenang, diantaranya : pengangkatan dan penempatan jabatan pada orang dekat, pemerasan rotasi/mutasi/promosi, dan gratifikasi yang dilarang.

“Saya menyoroti pengangkatan jabatan/rekrutmen di daerah. Misalnya rekrutmen pegawai non PNS, mereka digaji oleh APBD, apakah mereka ini jumlahnya proporsional sesuai analisis kebutuhan tugas masing-masing?. Rekrutmennya seringkali asal-asalan. Mohon masalah rekrutmen ini diperhatikan kembali jangan sampai menjadi bumerang,” katanya.

Demikian mengenai promosi jabatan. Seringkali ada tawar menawar ‘tarif’. Menurutnya dengan adanya ‘tarif’ jual beli jabatan akan membuat pejabat tersebut ‘mencari’ anggaran untuk menutupi pengeluaran tadi.

Ia menjelaskan, penyebab tindakan korupsi salah satunya besarnya biaya politik. Survei KPK 82,3% biaya politik berasal dari donatur, bantuan yang diberikan itu bukannya tanpa imbalan. Ada kepentingan tertentu di balik pemberian bantuan dana ke calon kepala daerah.

"Besarnya biaya politik sebaiknya diminimalisir. Karena semakin tinggi biaya politik pastinya akan muncul pemikiran korupsi bagaimana untuk mengembalikannya," katanya.