Disiplin Tanpa Pukulan dan Teriakan

Ini kisah nyata, acara kunjungan sebuah instansi pemerintah yang diracik sekaligus menjadi corporate gathering tiba tiba menjadi hambar. Penyebabnya sepele, acara yang juga diniati untuk rehat ke kota yang sekaligus menjadi oase atau meneduhkan suasana ada yang datang terlambat. Ini jadi biang sumpek, sebel alias bete. Sedianya bus terbaik seantero Kota – dipersiapkan khusus untuk mangayu bagyo hajad ini. Tapi itu dia jelang keberangkatan beberapa gelintir peserta datang terlambat, tentu dengan sejumlah sebab dan alasan yang mengiringnya. Ikhwal ini menyulut sang pimpinan terusik amarahnya. Wajahnya yang ayu semringah dan merona surut berubah bagai Drupadi murka.


Ya kilas pendek itu adalah reality show, seperti di layer TV, jadi bukan naras fiktif atau bohong bohongan. “Tunggu lima belas menit lagi, kalau masih belum datang juga, tinggal!” begitu sang ‘Srikandi’ yang jadi penanggung jawab kegiatan dengan suara lantang. Urat sabarnya tak lampu lagi dikendalikan rasio, yang terjadi adalah emosi.

Benar, tengat waktu lima belas menit luput. Waktu jadi hakim, seperti jagal maut. Bus bergerak meninggalkan mereka yang belum tiba. Pak Sopir terjebak ambigu. Maju mundur, tokh akhirnya dia melajukan busnya meski seperti kuda bebal, meski sudah dilecut tetap berat untuk berlasi. Hati yang terkoyak tak syak membuat pedal gas tak mau dipacu. Andai bisa bicara pasti dia ingin berlari, ingin melaju. Tapi suasana kembo menjadikan wajah mengkeret.meski dress codenya merah darah, tapi tak hadirkan aura.

Suasana beku, anyep, tak ada asa lagi. Tak sabar menatapnya suasana seperti buntu, ‘Srikandi’ bernjak angkat mikropone menyalakan api dan menghelanya dengan narasi bersulut emosi. Wejangan tentang disiplin mengalir deras, Tidak ada sukses tanpa disipin. Disiplin adalah komitmen terdalam dari sebuah sikap dan keteguhan. Itu yang menjadi kredo Srikandi sebagai pemimpin.

Dalam situasi naik turun, juga emosi yang mulai surut muara berlabuh tentang budaya kerja. Mestinya saya tak perlu marah di sini, tapi apakah saya harus memberi toleransi terhadap sikap tak bertanggung jawab atas komitmen bersama. Toleransi sama saja menyerahkan leher di tiang jagal atau gantung. 

Itu yang perlu saya ingatkan dan tegaskan. Marah dan emosi adalah peradaban tak elok. Karena emosi adalah temen setan. Lantas apa artinya marah. Bisakah disiplin tegak tanpa marah juga tanpa teriakan. Teori kepemimpinan, juga psikologi kepribadian berjibun dapat jadi referensi. Tapi satu hal demokrasi tidak datang begitu saja. 

Amerika mencapai demokrasi seperti sekarang perlu waktu tiga abad alias 300 tahun. Tetapi atas nama demokrasi dan liberalisme mereka tokh kukut. Sebaliknya Cina dengan tangan besi, dan sosialisme semi liberal jadi jawara. Secara ekonomi dan teknologi Cina kini adalah yang terdepan. Pelajaran elok perlu menjadi pendalaman adalah tentang Korea Utara.

Betapa tidak, di tengah embargo, blokade dan dikucilkan dunia teknologi persenjataan maju pesat luar biasa. Korut menjadi salah satu adidaya dunia karena nuklirnya. Mungkin mereka belajar, demokrasi akan berjalan ketika kemakmuran di tangan. Tetapi dunia bukanlah seluas mata memandang, karena dunia berjalan dengan hetrogenitas dan dialektikanya. Kompetisi seperti veldrom balap sepeda, atau arena sirkuti balap motor GP. Mereka yang tidak mengikutinya sejak awal, tidak akan tahu siapa di depan, siapa di belakang.

Nah, itulah pelajaran tentang peradaban. Sebaik baiknya pelajaran adalah keteladanan. Adakah sesuatu yang bisa dipetik dari kisah nyata ini. Sesanti yang bisa menjadi renungan kecil di sini adalah, setiap perbuatan akan kembali pada kita, maka berkomitmen untuk selalu berfikir baik, berkata baik, berbuat baik, dan berhati baik. 

Berjanjilah untuk teguh dan menjaganya menjadi portofolio kita sendiri. Jujur adalah ibu kesetiaan. Setia pada hati adalah ibadah dan laku spiritual terdalam. Catatan akhir menutup wirunggan kecil ini, waktu adalah sang penguji yang adil, dan belajarlah padanya. Marah adalah sebuah cara ketika nasehat lemah lembut tak lagi berdaya. Tapi jadikanlah marah sebagai obat bukan menjadi azab.

Dan janganlah sakit hati, dan berputus aja, apalagi kemudian membenci pada mereka yang memberi marah pada kita. Jadikanlah marah  itu sebagai energi. Kenali diri kita, kenali salah kita, Insya Allah itu menjadi cara terbaik. Seribu kali perang, seribu kali menang. Salam dan tabik.

Drs Jayanto Arus Adi

Pemimpin Umum RMOL Jateng, Direktur JMSI Institute, Ketua Bidang IT JMSI, Penggiat Satu Pena Indonesia, Mahasiswa Program S3 Manejemen Pendidikan Universitas Negeri Semarang