Rencana pemerintah menjual gas elpiji 3 kilogram non subsidi ke masyarakat menengah atas per 1 Juli 2018 menuai kritik. Kebijakan tersebut dinilai akan menciptakan masalah baru di masyarakat.
- Presdir XL Axiata Ikut Wakil Indonesia di Konferensi Pemberdayaan Perempuan Negara G20
- Pedagang Tak Boleh Lakukan Renovasi di Lapak Johar Cagar Budaya
- Bupati Sukoharjo Monitoring Penyaluran THR Di 2 Perusahaan Grogol
Baca Juga
Erlyando menilai kebijakan menjual gas elpiji 3 kilogram non subsidi ke masyarakat menegah berpeluang merugikan masyarakt kelas bawah dan menciptakan kelangkaan tabung subsidi 3 kilogram. Banyak pihak akan memanfaatkan kebijakan ini untuk ambil untung besar dengan fokus menjual tabung non subsidi yang rencananya akan dijual dengan harga Rp 39 ribu.
"Kita beramsusi saja jika harga tabung subsidi 17-20 ribu sebagai pedagang. Ya akan main di harga yang punya total revenue yang lebih besar. Apalagi jika antara subsidi dan non subsidi tidak bisa dibedakan dan ada celah untuk dimanipulasi. Bukan tidak mungkin terjadi permainan nantinya, membeli dengan harga subsidi di jual dengan harga non subsdi kapada kelas menengah atas," papar dia.
"Kami sangat meragukan Fungsi Kontrol pemerintah dalam hal ini," tegasnya.
Lanjut Erlyando, jika berfikir lebih makro lagi, di hulu energi, ekploitasi gas melimpah ruah. Stok gas di indonesia 300 persen lebih besar jika dibandingkan stok produksi minyak yang sangat tergantung dengan impor dari luar. Namun keadaan itu bukan berarti harus menjual gas dengan berlebihan.
Untuk itu dia mengingatkan Pertamina selaku leading sektor hulu hilir minyak dan gas tidak bermain-main soal kebijakan energi yang menyangkut hajat hidup orang miskin. Apalagi Pertamina menjadi sorotan akhir-akhir ini, mulai dari sorotan kondisi neraca keuangan, kelangkaan premium hingga berujung pergantian pucuk pimpinan.
"Jangan lupa kita belum berhasil dalam melakukan transformasi dari energi fosil ke energi terbaharukan. Harusnya kondisi ini membuat pemerintah bisa berpikir lebih bijak," katanya.
"Kami faham arahnya kebijakan ini akan membuat ekplorasi dan ekploitasi besar besaran di sektor gas sehingga pemerintah akan mendapat benefit yang besar. Namun upaya ini akan berdampak pada ketersedian gas dalam jangka panjang, dimana akan lebih cepat habis. Jika habis maka kita pun sama kondisinya dengan minyak yang mengimpor dari negara lain. Sedangkan alih energi ke energi alternatif belum ada progressnya," sambung dia.
- XL Axiata Catatkan Laba Bersih Rp395 Miliar Di Tengah Pandemi
- Viralnya Harga Mie Instan Rp 41 Ribu, Ita Minta Masyarakat Langsung Lapor Kanal Pengaduan
- BCA Persiapkan Puluhan UMKM di Semarang-Yogyakarta Tembus Pasar Ekspor